ANJING YANG BERANI MENGGONGGONG-SELAMAT HARI KARTINI

ANJING YANG BERANI MENGGONGGONG

Sehabis menikah saya bilang kepada istri, “kalau saya salah harus berani tegur, bahkan marah.”

Lalu dia bilang kepada saya, “kalau saya marah atau tidak suka sesuatu terhadap pak, berarti menangis dan banting pintu ko tidur di kamar diam-diam.”

Pengalaman hidup bersama jemaat di pedalaman Timor dalam budaya patriarki, banyak ibu-ibu yang ‘berdiam diri’ di hadapan laki-laki (suami, saudara laki-laki).

Budaya patriarki juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Misalnya yang menjadi pemimpin harus seorang laki-laki. Beberapa waktu yang lalu pemilihan RT di salah dusun dalam desa tersebut, calon hanya dua orang seorang bapak (60-an) dan seorang ibu (30-an) yang terpilih adalah bapak tersebut. Beberapa warga masyarakat mengatakan bahwa laki-laki yang cocok menjadi RT.

PEREMPUAN DALAM KEBUDAYAAN YAHUDI

Dalam konteks patriarkhi baik di bidang kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, laki-laki yang dominan. Dan juga tidak mengherankan dalam konteks tersebut ide-ide teologis dibuat oleh laki-laki (Frances Adeney). Oleh karena itu dalam sejarah teologi Yahudi, banyak pandangan tentang perempuan sebagai manusia yang lemah, kurang pintar, muda tergoda merupakan hal wajar terjadi.

Di dalam keluarga Israel sebagai penganut budaya patriakal dan pokok utama adalah berpusat pada suku sangat kental dan terasa. Itulah sebabnya, setiap individu mengidentifikasikan dirinya sebagai “rumah ayahnya” yang secara fungsional sepadan dengan “keluarga”. Padanan ini menggambarkan otoritas patriakal. Dalam keluarga Israel, ayah dan suami merupakan kepala yang dilihat sebagai pemilik atas kehidupan saudara-saudara perempuannya. Dengan kata lain, seluruh hidupnya ditempatkan pada posisi di bawah perhatian dan perlindungan pihak laki-laki. Bahkan menurut budaya Israel, perempuan yang berstatus janda juga berada di bawah perlindungan sanak laki-lakinya atau keluarganya yang laki-laki.

Kaum perempuan dipandang sebagai pribadi yang lemah dan yang tidak akan pernah mandiri. Berbeda halnya dalam kultus dan hukum, yaitu di mana kaum perempuan ditempatkan di bawah laki-laki, yaitu tunduk kepada kaum laki-laki. Dengan kata lain, ketergantungan kepada laki-laki merupakan hal yang lazim pada saat itu. Betapa tidak? Seorang perempuan/ istri adalah milik atau kepunyaan sang suami sepenuhnya, dan ia diperlakukan sama dengan barang atau harta kepunyaan yang lainnya (seperti Ladang, harta, budak dan sebagainya). Itulah sebabnya, dalam budaya Israel laki-laki atau suaminya harus dipanggil sebagai Ba’al, yaitu pemilik istri atau Adon, yang berarti tuan istri.

Valerie Abraham mengatakan bahkan dalam praktik religius, kaum perempuan sangat dibatasi aktifitasnya karena dianggap tidak layak. Bahkan, para rabi Yahudi memandang rendah dan hina kedudukan perempuan dalam praktik kultus atau keagamaan.

William Barclay mengatakan:

“Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”. Dia juga mengutip perkataan Rabi Josc ben Johanan yang mengatakan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan” (William Barclay, 106).

Perempuan yang tampil dalam Markus 7:24-30 (bdk. Matius 15:21-30) adalah perempuan yang luar biasa beraninya. Demi kesembuhan, kehidupan, masa depan anak perempuannya yang kerasukan, dia berani membalas kata-kata Yesus yang menyamakannya dengan seekor anjing. Perempuan berani bersuara di hadapan figur yang disegani, yang berkuasa, memakai bahasa yang menakutkan.

“Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.”

Kepintaran perempuan dan keberanian untuk berbicara inilah yang menghasilkan apa yang dicari.

Maka kata Yesus kepada perempuan itu: “karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.”

Bahasa perempuan dan keberanian berkata membawa kuasa membebaskan.

Sangat mengesankan dari cerita ini adalah perempuan non-Yahudi berani bersuara di hadapan figur yang berkuasa dalam Konteks patriarkhi. Mengingat banyak perempuan, kaum ibu, yang cenderung diam diri saja di muka laki-laki, apalagi ditegur.

Dalam cerita ini perempuan tidak lari pulang dengan menangis ketika disamakan dengan seekor anjing. “Anjing” ini tidak lari menangis dengan ekor merunduk melainkan menggonggong. Oleh sebab itu suaranya didengar.

Mesti berani bersuara dan berjuang.

Anjing lari dengan ketakutan maka ekornya merunduk di celah pahanya tapi anjing yang berani akan menggonggong.

Tiba saatnya bagi kaum perempuan khususnya ibu-ibu di kampung bersuara dan bertindak.

Kini banyak cara dan banyak sarana digunakan untuk bersuara dan bertindak.

Selamat merayakan hari Kartini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *