BUDAYA TUDING

BUDAYA TUDING
Pdt. Frans Nahak

Budaya tuding adalah refleksi dari sikap hidup, kebiasaan, dan perilaku kehidupn yang anti tanggung jawab. Artinya, ketika kehidupan menuntut tanggung jawab seseorang ia cenderung menolak bertanggung jawab. Perhatikan gejala budaya tuding dalam kehidupan kita sehari-hari, di sekeliling kita dan di negeri ini. Di kalangan pemimpin, pejabat baru menuding pendahulunya atau sebaliknya: sang pendahulu menuding penggantinya kerja tidak becus. Pemerintah lama menuding pemerintah baru sebagai penyebab amburadulnya kehidupan berbangsa, demikian juga pemerintahan yang baru menuding pemerintahan yang lama punya kontribusi terhadap kondisi sekarang. Perhatikan di sekeliling kita, ketika seorang anak yang sementara jalan bersama orang tua, dan anak itu tiba-tiba terjatuh orang tua akan mengalihkan tanggung jawab kepada batu, kayu atau lantai. Di dalam rumah, ketika anak menangis bapak atau mama akan bertanya, “siapa yang buat?” atau ada anak yang nakal dalam rumah orang tua akan saling mempersalahkan. Masih banyak contoh lain yang bisa kita tambahkan sendiri. Pertanyaannya: mengapa budaya tuding ini sangat kuat dan kental mewarnai kehidupan kita, baik dalam keluarga, di dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa? Menurut pakar budaya Herry Tjahjono, jawabannya ada pada pendidikan. Ya. Pendidikan budaya tuding pada manusia Indonesia sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Manusia Indonesia terperangkap oleh lingkaran setan budaya tuding sejak kecil sampai dewasa. Sederhananya, sejak kecil seorang anak telah dididik tidak mengenal tanggung jawab, menghindari tanggung jawab dan menolak tanggung jawab. Seperti contoh yang telah dijelaskan di atas, orang tua akan mengalihkan tanggung jawab pada kayu, batu, lantai, dll. Selain dialihkan ke objek lain, orang tua juga sering mengambil alih langsung tanggung jawab sebagai pahlawan yang sanggup melindungi anaknya. Sementara itu, sang anak akan belajar berdiri di belakang orang tuanya. Demikianlah proses pendidikan budaya tuding itu berlangsung di setiap kesempatan. Selanjutnya ketika anak beranjak dewasa dan menjadi pemimpin dalam keluarga, di dalam masyarakat, dalam pemerintahan, dan ketika ada tuntutan untuk bertanggung jawab maka terjadilah tuding menuding.  Maka dengan demikian, lingkaran setan budaya tuding berlangsung terus menerus, tidak pernah putus mata rantainya.

Lingkaran setan budaya tuding itu mengakibatkan  orang menolak bertanggung jawab. Ketika seorang pemimpi melakukan kesalahan, ia akan berteriak: “itu bukan saya, itu bukan tangung jawab saya, saya tidak tau”. Lingkaran setan budaya tuding itu juga membuat orang meninggalkan arena dan melarikan diri dari tanggung jawab. Contoh yang paling jijik ialah ketika para koruptor yang melarikan diri, menutup-nutupi kesalahan kerabat atau temannya. Atau yang lagi hangat, kita saksikan di tahun politik saat ini. Demi kekuasaan tak segan menuding lawan politiknya tanpa bukti, kemudian menyebarkan berita bohong untuk memperoleh kekuasaan.

Apakah lingkaran setan budaya tuding ini merupakan dosa leluhur, Adam dan Hawa (Kej. 3)? Bisakah lingkaran setan budaya tuding itu mata rantainya diputuskan? Budaya tuding ini muncul ketika manusia pertama Adam dan Hawa jatuh dalam dosa.
Kita memperhatikan cerita keluarga pertama dalam Kitab Suci  (Kej. 3). Setelah mereka berbuat dosa, datanglah Allah ke taman itu. Allah memanggil manusia: “Di manakah Engkau?” dan dalam rasa takut manusia itu menjawab: ”ketika aku mendengar bahwa Engkau dalam taman ini, akau menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”: rasa bersalah menimbulkan ketakutan sehingga lari bersembunyi. Mereka sembunyi bukan karena mereka telanjang. Bukankah sebelum jatuh dalam dosa mereka telah telanjang? Bukankah mereka dua yang bersebunyi itu telanjang? Mengapa harus malu? Menurut hemat saya, mereka bersembunyi bukan malu karena telanjang tetapi mereka tidak mau bertanggung jawab, sudah bersalah tidak mau bertanggung jawab. Karena itu Allah datang menemui mereka untuk meminta pertanggungjawaban, saling melempar tanggung jawab. Allah bertanya (baca: ayat 11), jawab Adam: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” Di sini Adam menuding dan melempar tanggung jawab kepada istrinya, bukan hanya kepada istrinya tetapi juga kepada Tuhan Allah. Perhatikan perkataan Adam, “perempuan yang KAU-tempatkan, bukan perempuan yang di sisiku”.  Adam tidak mau bertanggung jawab sehingga Tuhan Allah menemui istrinya.  Hawa menuding ular tersebut (baca: ayat 13), jawab perempuan itu: “ular yang memberdaya aku, maka kumakan”.  Ular tidak bisa melempar tanggung jawab kepada siapa-siapa, sehingga dia yang pertama menerima hukuman.

Orang yang suka tuding lebih licik dari pada ular. Lingkaran setan budaya tuding adalah dosa yang menjalar. Benar seperti  kata rasul Paulus, “sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang karena semua orang telah berbuat dosa”. Tetapi bagi Paulus dosa itu telah ditaklukan oleh Yesus Kristus (baca: Rom. 5 : 12 – 21). Bukan berarti lingkaran setan budaya tuding telah hilang. Tidak! Dia tetap ada, tetapi manusia diberi kekuatan oleh Tuhan untuk menguasainya. Kita diberi hikmat untuk bisa perlahan-lahan memutuskan mata rantai itu dengan mendidik anak-anak  bertanggungjawab  sikap dan  perilakunya dari dalam rumah. Kelak ia berada di ruang publik diberi tanggungjawab dan  berani bertangungjawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *