CATATAN ANAK PINGGIRAN DI KUAN KLASIS AMANUBAN TIMUR TENTANG KEMAJEMUKAN DAN PERAN AGAMA-AGAMA
CATATAN ANAK PINGGIRAN DI KUAN KLASIS AMANUBAN TIMUR TENTANG KEMAJEMUKAN DAN PERAN AGAMA-AGAMA Pdt. Fransiskus Seran Nahak
Jumat, 21 Desember 2018 kami pndeta-pendeta baru bertolak dari Kota Kupang ke Amanuban Timur Pukul 4.00 wita. Sampai di Oeekam pukul 21.00 wita. Memasuki Oeekam di atas kendaraan sepeda motor saya memperhatikan beberapa rumah ibadah di sepanjang jalan. Ada Masjid, Gereja baik itu Protestan maupun Katolik. Saya bertanya kepada beberapa teman, katanya ada juga Pesantren. Ketika ke jemaat Besnam tempat saya menjalankan masa orientasi sebagai pendeta Gereja Masehi Injili Timur, sepanjang jalan ada gedung gereja saudara/i saya beragama Katolik. Kehidupan umat beragama di Kuan Amanuban Timur bercapur. Saya mencoba untuk menulis, Catatan Anak Pinggiran di Kuan Amanuban Timur Tentang Kemajemukan dan Peran Agama-agama, khusnya tiga agama, yakni Kristen Protestan, Katolik dan Islam.
KEBERAGAMAN Secara nasional Indonesia sangat beragam. Saya mengutip peryataan Prisiden pertama Indonesia yakni Sukarno, yang pernah berucap: “Biarlah berbagai bunga bertumbuh dan berkembang dalam taman sarinya Indonesia”. Keberagaman (diversity) tak dapat dipungkiri merupakan sebuah kondisi yang sudah terjadi (given) di bumi dan tanah air Indonesia. Keberagaman itu dapat terdeteksi dalam budaya, suku, ras bahasa, agama, geografis, vegetasi, orientasi politik dan hirarki sosoal dalam masyarakat. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok suku dan bahasa, misalalnya Ambon, Timor, Batak, Papua, Jawa, Dayak, Bugis, Makasar, China dan Arab serta ditambah dengan beribu suku bangsa yang kecil, dan bermukim di wilayah-wilayah terpencil. Agama dan kepercayaan pun juga beragam. Ada beberapa agama besar di Indonesia, yang mengikuti kriteria agama Samawi, negara hanya meresmikan lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha. Belakangan, dalam pemerintahan K. H. Abdurahman Wahid, Kong Hu Cu diakui pula sebagai agama. Masih ada lagi agama-agama suku yang sampai saat ini masih dianut oleh suku-suku tertentu. Setiap agama itu tidak tunggal tetapi ada banyak aliran atau denominasi di dalamnya. Keragaman ini merupakan kekayaan dan kebanggaan khusus yang perlu dijaga, dirawat dan dilestarikan. Keragaman bangsa Indonesia seperti tubuh yang terdiri dari anggota-anggotanya, misalnya kaki, tangan, mulut, dll. Barang siapa yang menghilangkan salah satu anggota tubuh maka akan terasa sakit dan cacat. Namun, keragaman menimbulkan “persoalan” termasuk di Amanuban Timur beberapa waktu yang lalu. Persoaalan itu muncul ketika kelompok sosial itu harus hidup bersama dengan kelompok sosial religius yang lain dalam ikatan hidup bersama yang lebih luas, yaitu hidup berbangsa dan bernegara. PERAN AGAMA-AGAMA Persolan-persoalan kehidupan sosial religius harus menaruh perhatian serius, karena kecendrungan ini dibiarkan akan sangat berbahaya bukan saja relasi umat beragama, tetap bagi relasi-relasi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya kita terjebak ke dalam situasi homo homoni lupus (manusia sebagai serigala bagi yang lain). Maka sekarang agama, pemimpin-pemimpin agama, mesti memainkan peranan penting dalam kehidupan bersama. Emile Durkheim mengatakan bahwa agama bukan hanya sistem gagasan, melainkan sistem kekuatan, temasuk kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini menimbulkan etika sosial di masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas wilayah suci atau merusak tradisi suci, sangsinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini, Durkheim menilai agama sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat. Keberagamaan tidak hanya masalah keyakinan dan pelaksanaan ritual. Ia juga menyangkut akhlak dan moralitas manusia. Agama juga tidak hanya mengajarkan apa yang diimani dan ibadah yang harus dilakukan tetapi juga mengajarkan tentang nilai-nilai yang harus dihayati dan norma-norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makluk sosial. Dalam kaitan dengan ini agama mempunyai peranan yang sangan vital. Agama sebagai perekat sosial membentuk kelompok sosial yang menuntut loyalitas kelompok dalam sebuah masyarakat untuk menghargai dan merawat keragaman. Agama diperlukan oleh manusia setiap zaman, agar bisa memberikan pencerahan hati dan akal. Rasul Paulus pernah berucap: Janganlah kamu serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rom. 12:2). Pembaharuan budi kepada para penganut agama merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab agama agar para penganut agama mengenal mana kehendak Tuhan dan mana kehendak manusia. Kehendak Tuhan ialah melakukan kebajikan. Ada nilai-nilai universal dalam ajaran setiap agama ditanam sejak dini kepada anak-anak melalui kurikulum pendidikan. Pertama, praktek pendidikan agama di sekolah. Sampai hari ini sekolah masih dipandang sebagai media yang paling efektif untuk menyemaikan ide dan nilai-nilai kepada sebuah generasi. Hal itu dikarenakan sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling terorganisir dan mudah dikontrol. Atas dasar itu secara umum saya beranggapan bahwa pendidikan agama merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun kehidupan. Terlebih lagi menghadapi fenomena sosial religius yang akhir-akhir ini terjadi dan sangat mengkwatirkan. Perselisian paham baik secara individu maupun kelompok muda sekali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian yag menggunakan sentiment-sentimen agama, baik intra maupun antar agama. Pelajaran agama diharapkan mampu membekali, memotifasi sekaligus menjadi benteng moral bagi anak didik. Maka dengan demikian pendidikan agama di sekolah sangat penting bagi pembentukan generasi-generasi untuk menghargai, menghormati dan merawat kemajemukan. Kedua, pengajian, khotabah, ajaran di tempat-tempat ibadat. Khotbah-khotbah dalam tempat-tempat ibadat jangan mengkalaim agamanya sebagai satu-satunya ajaran yang benar, yang lain agama kafir jadi perlu ditobatkan. Ada istilah Indonesia harus dikristenisasikan atau diIslaminisasi. Ajaran agama yang mengkalaim keselematan itu hanya milik agama tertentu itu merupakan kesombongan. Pandangan eksklusif dan egoitis terhadap keselamatan seperti itu merupakan kejahatan di hadapatn Tuhan, dan merusak jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Salah satu faktor penyebab berlanjutnya kebenciaan dan kekerasan atas nama agama mungkin karena masyarkat kita lebih memuliakan agama dari pada Tuhan. Mereka lupa bahwa agama betapapun muliannya hanya sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena kecendrungan lebih memuliakan agama dari pada Tuhan maka kehendak Tuhan pun hendak dikapling-kapling. Kebenaran-Nya dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing, seolah Tuhan tidak menciptakan kebenaran yang universal bagi seluruh umat manusia. Bukannkah Tuhan yang mengasihi semua ciptaan-Nya. Yesus pernah berkata: “Bapa yang di sorga, menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45). “Tuhan itu Baik Bagi Semua Orang”.(Mzr 145:9). Khotbah-khotbah dalam tempat-tempat ibadat memberi kekuatan iman kepada para penganut agama juga mengajarkan tentang nilai-nilai yang harus dihayati dan norma-norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makluk sosial. Dan mengajarkan para penganut agama agar mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri dan lingkungan. Sama-sama berjuang untuk kesejateraan bersama. Ketiga, agama-agama perlu membuka dialog dan kerja sama. Dialog artinya duduk bersama untuk belajar bersama dan saling mendengar dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang universalan untuk mewujudkan dalam kehidupan bersama. Hal ini juga merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap agama lain. Kalau saling berdialog maka sesungguhnya kita sedang berada di dalam ziarah bersama dan di dalam ziarah bersama itu kita saling berinteraksi memperakaya spiritual satu terhadap yang lain. Prof. Hasan Askari, seorang guru besar agama dari India, dengan latar belakang Syiah pernah mengatakan: “kita berkunjung dengan bebas ke wilayah spiritual agama lain dan kembali dengan membawa kekayaan baru bagi spiritual sendiri serta menyajikan pula untuk kebersamaan”. Ketika ada dialog bersama maka kita bisa menemukan nilai-nilai universal di setiap agama dan itu bisa menjadi dasar untuk bekerja sama mengusahakan kesejahteraan bersama.