DAMAI! DAMAI! DAMAI!

DAMAI! DAMAI! DAMAI!
Pdt. Frans Nahak

Hati yang damai, pikiran yang damai, hidup yang damai, pasti semua orang menghendakinya. Di masa kampanye seruan untuk kampanye damai dan pemilu damai untuk Indonesia yang damai
Damai itulah yang dicari semua orang, bangsa ini dan semua bangsa. Nobel perdamain dibagikan setiap tahun, tetapi terkadang damai itu seumur jagung.
Mengapa? Ada sebuah cerita yang diceritakan oleh Eka Darmaputera. Ceritanya sbb:
“Arakian, binatang-binatang di hutan sudah bosan dan capek berkelahi. Mereka  menyelenggarakan sebuah konfrensi perdamaian. Membicarakan masalah peluncutan senjata. Yang berpidato pertama, adalah pak badak. Ia mengatakan bahwa penggunaan taring dan kuku yang tajam dalam perkelahian sunggulah mengerikan dan benar-benar tidak sesuai dengan perikebinatangan. Berbeda dengan tanduk atau cula, yang digunakan hanya untuk bertahan. Oleh karena itu, ia mengusulkan, agar semua taring dan kuku tajam dilucuti. “Setujuuuuuu!”

Akan tetapi, macan, singa, jaguar, serigala, semua binatang yang bertaring dan berkuku tajam protes, tidak setuju. Mereka mengatakan bahwa taring dan kuku adalah senjata-senjata terhormat. Bukan taring dan kuku yang mesti dilarang, begitu kata mereka, tetapi tanduk dan cula.

Peserta konfrensi segera terbelah menjadi dua. Kubu yang satu pro-badak, anti taring dan kuku. Kubu yang lain pro-macan, anti tanduk dan cula. Tak ada yang mau mengalah. Susahnya, suaranya sama banyak. Konfrensi perdamaian terancam gagal.
Ketika semua hampir putus asa, ahaaaaaa!, datanglah pak beruang. Baru bangun dari tidurnya yang lama (beruang bisa tidur selama berbulan-bulan). Sambil mengucek-ucek mata, ia bertanya, “ada apa ini kok ramai-ramai?” Binatang-binatang kecil, yang sangat berkepetingan terhadap suksenya konfrensi itu, menceritaka apa yang terjadi sambil memohon, “Tolong, pak beruang! Jangan sampai konfrensi ini gagal, kami kecil-kecil ini yang korban, saya tidak aman tinggal tetap di sebatang pohon karena perkelahian mereka. Kami tidak bebas mencari makan,” bisik si monyet.
“Betul, pak beruang, tolong kami, untung saya bisa melompat-lompat dan bersembunyi,” sambung si tupai dan didukung si kelinci.
Dengan gerakan yang lambat tetapi berwibawa, beruang itu berkata, “tenang, tenang, tenang! Saya punya usul! yaitu,  baik kuku, taring, maupun tanduk dan cula dilarang. setujuuuuuu?” Semua kali ini berteriak, “Setujuuuuu!”
Akan tetapi ada yang keritis, “tetapi, pak beruang, kalau semua dilarang, bagaimana terjadi pertengkaran di antara kami? Namanya kita hidup bersama pasti sedikit-sedikit ada masalah.”
“ooo, gampang,” kata beruang, “tetap tidak baleh saling mengigit, menanduk atau menerkam. Tetapi harus saling memeluk. Setujuuuu? Siapa yang tidak setuju?” Semua setuju, dan perjanjian damai ditandatangani. Konfrensi perdamaian selesai.”
Tetapi ada damai datang? Ternyata tidak!
Beberapa lama setelah konfrensi selesai, barulah binatang-binatang itu sadar, bahwa mereka telah dikubuli oleh si beruang. Beruang adalah satu-satunya binatang yang membunuh mangsanya dengan memeluk! Oh, pantas saja ia mengusulkan itu!
Di waktu-waktu sekarang banyak orang yang berbicara tentang damai, mengusahakan kedamaian, mengkampanyekan kedamaian, menggunakan “stempel” atau “logo” perdamaian untuk membenarkan kampanye mereka. Banyak yang tulus mengupayakan perdamaian akan tetapi tidak kala banyak yang punya kepentingan. Namun kedamaian itu hilang setelah kepentingan mereka terpenuhi.
Damai sejahtera didambakan, begitu diusahkan, tetapi mengapa tak kunjung terwujud? Atau pun terwujud tetapi hanya seumur jagung? Untuk menjawab pertanyaan ini Eka Damaputera mengutip cerita Winston Churchill, yaitu menjelaskan teori yang dianut oleh negara-negara di dunia ini, yaitu kalau mau damai, harus siap berperang. Perdamaian harus dapat diwujudkan dengan mempersiapkan peperangan. Artinya, kalau masing-masing memperkuat diri dan mempersenjatai diri, maka musuh pun tidak akan berani menyerang. Tidak ada perang itu namanya damai. Benarkah? Tidak hanya seperti itu. Kenyataanya ialah, di dalam kelurga tidak ada pertengkaran tetapi banyak anggota keluarga menderita karena merasa tidak damai. Ada banyak warga gereja yang bermusuhan tidak, tetapi rukun juga tidak. Itu tidak cukup. Itu damai hanya di permukaan. Di manakah damai sejahtera yang sesungguhnya? Menurut rasul Paulus “sebab kerajaan Allah bukanlah soal makan dan minum, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Karena barang siapa melayani Kristus dengan cara ini, ia berkenan pada Allah dan dihormati oleh manusia. Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun. (Rom. 14 : 17-19). Carilah damai sejahtera Kristus… Pendeta Jemaat Besnam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *