DEGEDRASI BUDAYA DI ERA GLOBALISASI
DEGEDRASI BUDAYA DI ERA GLOBALISASI
Pdt. Frans Nahak
Ketika menjalani masa vikariat dan sampai ditempatkan sebagai pendeta yang paling sulit kita cari di jemaat ialah anak muda memukul gong dan menari saat bulan Mei, bulan Bahasa dan Budaya yang ditetapkan oleh Gereja Masehi Injili di Timor.
Hal ini merupakan dampak dari era globalisasi yang mengakibatkan banyak perkembangan dan perubahan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari teknologi, informasi, transportasi dan gaya hidup sampai dengan tradisi dan budaya .
Berbicara tentang budaya tentu memiliki pengertian yang luas. Setiap suku bangsa memiliki budaya. Budaya adalah sebuah identitas khas bagi suatu daerah. Menurut Koentjaraningrat budaya adalah sebuah gagasan, rasa, tindakan dan karya manusia dalam hidupnya.
Dari pengertian tersebut, apa yang menjadi identitas yang khas setiap suku di NTT khususnya di pulau Timor? Jika kita bertolak dari pengertian Koentjaraningrat, maka tarian, alat gong, tebe, bonet, merupakan gagasan, rasa, tindakan dan karya yang diiwariskan oleh leluhur.
Orang berbudaya dalam aktivitasnya ada hubungan dengan lingkungan alam sekitar, relasi sosial dengan sesama, hal itu yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara. Ia mengatakan bahwa budaya adalah hasil dari perjuangan masyarakat pada alam serta zamanya yang memberikan bukti dan kemakmuran hidup.
Saya biasa menghadiri resepsi nikah baik di hotel maupun di rumah. Salah satu acara yang menarik adalah dansa atau polenez.
Terasa tawar bila pesta-pesta besar melewati polenes. Polenez bukan tarian dari Timor tetapi tarian dari Polandia yang lahir sekitar tahun 1500-an kemudia dibawa oleh orang-orang Eropa ke Timor. Ada seorang teman saya, mungkin ia berkelakar bahwa di kampung saya orang metsel kuburaan ada acara Polenez.
Anak-anak muda dari kampung tidak lagi mengenal tarian asli daerahnya. Tidak ada lagi perempuan di kampung sebagai “ratu” dalam rumah panggung ema tetun karena semua telah merantau di daerah orang. Saya salah satu anak bagin yang ada di dalamnya.
Sejak kecil kami mengenal tarian dari Malaka bahkan ikut menari. Misalnya likurai, tebe dan bidu. Karena kami dijarkan oleh nenek moyang kami. Disekolah dibiasakan perlombaan-perlombaan tari-tarian. Tetapi perlahan-lahan kami melupakan.
Anak muda zamannya kami tidak lagi mengenal tarian budaya sendiri, akhirnya nilai-nilai budaya perlahan-lahan hilang digerus oleh moderinitas. Harus diakui bahwa tekanan budaya luar menyebabkan budaya lokal dan nilainya tersingkir ke sudut peradaban.
Saya sebagai anak muda terkadang cemas dengan kondisi budaya lokal karena kami kaum muda melupakan adat dan budaya kami. Sulit membayangkan kalau tarian likurai, bidu, tebe, akabeluk (regu tumbuk sagu perempuan dan laki-laki menyanyi bersahut-sahut menggunakan bahasa adat. ), hamis (upacara panen), hamutuk maten (kenduri), uma nain (tuan rumah perempuan), hakawak (gotong royong) dan sebgainya, sekarang hanya sebagai simbol. Kami kaum muda telah bergaul dengan beragam budaya luar dan bercampur dengan budaya modern. Perempuan sebagai Uma Nain= ratu rumah (uma=ruamah nain=raja), yang duduk di rumah panggung di kampung telah tiada karena keluar dari kampung demi pendidikan, pekerjaan bahkan alasan agamawi. Perlahan-lahan kami meninggalkan budaya karena konsumerisme tanpa makna. Modal yang bekerja dalam iklan dan mengajak orang untuk dapat membeli atas nama diskon tidak dianggap kerja yang mengkampanyekan konsumerisme. Iklan dengan beragam tawarannya tenyata lebih diterima oleh generasi kami. Generasi kami harapan bangsa dengan kondisi psikologi seperti itu, menerima corak dan budaya luar dengan tangan terbuka dan senang bahagia silakan tuan dan puan menbaca kami kaum muda saat ini. Gugatan ringannya adalah kaum muda mana yang gemar mengikuti tarian tradisional dan membaca buku-buku sastar lokal?
Kami kaum muda lebih suka menonton acara murahan di telivisi ketimbang menonton dan mengikuti ritual adat yang memliki nilai spiritual. Mendengarkan cerita-cerita adat. Lebih anehnya lagi kami dianggap pendosa jika mengikuti ritual adat. Padahal, sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya, lembaga agama merupakan bentukan manusia juga semuannya diciptkanan untuk memenuhi kebutuhan imanennya. Kami sebagai genersi muda yang beragama mengangap bahwa agama itu sangat penting dan tidak salah, tetapi mungkin yang salah adalah praktek agama itu sendiri. Mencintai budaya sendiri sama seperti mencintai diri sendiri.