GEREJA SEBAGAI KELUARGA ALLAH
Gereja Sebagai Keluarga Allah
(Refleksi Teologis-Ekklesiologis)
Pdt. Frans Nahak, S,Th
Metafora gereja sebagai keluarga Allah merupakan bahasa iman dan suatu terjemahan khusus dari misteri Allah yang misterius kepada realitas untuk diketahui oleh manusia. Gereja merupakan tempat persekutuan orang-orang percaya, dan sekaligus merupakan gereja milik Tuhan yang sangat kuat dicirikan oleh karagaman suku, pulau, latar belakang adat, nilai budaya, sejarah dan geografis anggotanya. Dalam konteks seperti ini maka gereja memahami dirinya sebagai keluarga Allah.
Dalam Perjanjian Lama (PL) istilah keluarga biasa juga dipakai untuk menyebut Bait Suci di Yerusalem, yaitu untuk menunjukan kepada suatu persekutuan yang mesra sebagai satu keluarga, satu rumah tangga Allah. Persekutuan dalam Bait Suci di Yerusalem sangat penting karena menggambarkan keluarga adalah pusat peribadahan dan pengajaran. Ibadah dalam Bait Allah sangat penting dalam memelihara kesinambungan tradisi dan iman bangsa itu dari generasi ke generasi. Di dalam Bait Suci setiap anggota keluarga Allah dapat kesempatan untuk mendengar kabar keselamatan dengan maknanya yang penuh dan mempunyai kebebasan untuk menanggapi dan mengikutinya.
Ada ciri khusus untuk menyebut bangsa Israel sebagai keluarga Allah. Hal itu didasarkan pada sapaan terhadap Tuhan Allah sebagai Bapa dan Israel sebagai anak.
Pertama, Allah disebut sebagai Bapa. Cikal bakal Allah disebut sebagai Bapa berawal dari sejarah Israel, yaitu Allah memanggil Abraham keluar dari negeri asalnya (Kej. 12). Allah menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya kepada Abraham dengan memberikan tanah Kanaan kepada Abraham dan keturunannya. Kemudian Abraham menjadi suatu bangsa perjanjian yang besar untuk rencana keselamatan Allah (Kej. 17). Untuk menjadi anak-anak Abraham atau anak perjanjian setiap orang Israel harus disunat. Sunat merupakan tanda bahwa orang itu adalah keluarga Abraham yang juga menjadi bagian dari keselamatan.
Janji untuk menjadi bangsa pilihan Allah nyata ketika mereka berada di tanah Mesir. Allah membawa mereka keluar dengan menunjukan tanda-tanda yang luar biasa, kasih dan pemeliharaan-Nya sehingga membawa mereka sampai ke tanah Kanaan, yang telah dijanjikan kepada bapa leluhur mereka. Berdasarkan pengalaman mereka dengan Allah, maka mereka memanggil Allah sebagai Bapa. Tuhan Allah disebut Bapa karena Dialah yang menciptakan Israel sebagai suatu bangsa, dan yang menyebabkan Israel dapat hidup sebagai bangsa yang bebas merdeka (Ul. 32:6; Yes. 64:8).
Ke-Bapa-an Allah dalam hubungan dengan Israel bukan bersifat individu, tetapi menunjuk kepada seluruh umat. Hal ini terlihat dalam Yesaya 64:8: “…sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami.” dan Meleakhi 2:10: “….bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapa; bukankah satu Allah yang menciptakan kita.” Ayat-ayat yang dikutip ini memperlihatkan bahwa ke-Bapa-an Allah bagi seluruh umat Israel.
Kedua, Israel sebagai anak Allah. Sebutan anak dikenakan kepada Israel sebagai sekutu Allah, untuk menunjuk bahwa Israel harus mentaati Tuhan Allahnya, sebagaimana anak yang mentaati bapaknya. Sebagai anak, Israel harus mempersembahkan seluruh hidup bagi kemuliaan Tuhan Allah, Bapanya. Tuhan menuntut Israel sebagai anak untuk taat kepada-Nya karena Israel merupakan benih dari Abraham yang taat.
Iman dan ketaatan Israel kini menjadi buah sulung Allah di dalam penyelamatan-Nya “…..Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung” (Kel. 4:22). Pengakuan ini menegaskan bahwa Israel adalah anak Tuhan Allah yang dipilih khusus. Mereka disebut anak karena Tuhan Allah sendiri yang memilih mereka (Mzm. 105:6; I Taw. 16:13). Pemilihan Israel sebagai buah sulung menunjuk kepada Yesus Kristus yang sulung dalam Perjanjian Baru.
Dalam Perjanjian Baru (PB), surat Ibrani 3:6 mengatakan bahwa…..”Dan rumah-Nya ialah kita”. Penulis surat Ibrani mengacu kepada Bilangan 12:7, di mana istilah itu berarti umat Israel sebagai rumah tangga Allah dengan Musa sebagai kepala pelayan. Ini merupakan salah satu tempat dalam Perjanjian Baru di mana gambaran yang asal mulanya dipakai oleh Israel sekarang dipergunakan untuk jemaat Kristen di mana menunjuk kepada Mesias kepala dari pelayanan dalam rumah Allah.
Seperti dalam PL, PB juga menyebut persekutuan para pengikut Kristus sebagai sebuah keluarga dengan menyapa Allah sebagai Bapa dan para pengikut-Nya sebagai anak. Ajaran tentang ke-Bapa-an Allah adalah ajaran yang paling khas, khususnya dalam ajaran Yesus. Pada masa itu, orang-orang penyembah berhala beribadah kepada dewa-dewanya dalam suasana ketakutan, tetapi pandangan Kristen tentang ke-Bapa-an Allah memberi unsur keakraban ke dalam hubungan manusia dengan Allah yang tidak ada bandingnya dengan dunia non-Kristen. Ada tiga hal mengenai ke-Bapaa-an Allah, Pertama, Dia adalah Bapa dari Yesus, kedua, Bapa dari murid-murid Yesus dan ketiga, Bapa dari semua ciptaan-Nya. Hubungan Bapa-Anak yang bertitik-tolak pada Allah hampir seluruhnya ditujukan kepada orang-orang percaya. Hubungan itu karena tindakan penebusan Allah.
Orang yang ditebus menjadi anak-anak Allah, menjadi bagian dari persekutuan yang disebut keluarga Allah. Hal ini terlihat dari ungkapan Yesus bahwa “……di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal…..” (Yoh. 14:2-3). Memang maksud dari ayat ini ialah rumah Bapa yang di Surga, namun untuk masuk ke dalam rumah Bapa yang di Surga harus dimulai dari rumah yang di bumi, yaitu suatu keluarga Allah yang hidup dalam persekutuan dengan Kristus. Orang yang percaya dan diselamatkan diberi hak istimewa, dan ia menjadi anggota keluarga Allah. Orang percaya dianggap sebagai anak, yang dilahirkan kembali ke dalam keluarga Allah, sedangkan orang tidak percaya bukan keluarga Allah. Yesus pernah berkata kepada orang Yahudi yang tidak percaya kepada-Nya bahwa “iblislah yang menjadi bapamu” (Yoh. 8:44).
Paulus menggunakan istilah patria dari bahasa Yunani yang memiliki pengertian bahwa semua orang percaya adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29). Semua keturunan Allah berada dan ditandai dalam persekutuan. Orang-orang dalam zaman PB mengawalinya dalam persekutuan di Sinagoge. Sinagoge adalah bentuk kata benda Yunani yang menjadi perwujudan rumah Allah. Sinagoge bersifat Yudaisme yang memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup Yahudi, sehingga perkembangannya tidak mencakupi misi Yesus yang luas dalam kata Ekklesia, yaitu persekutuan yang tidak bisa dibatasi oleh kelompok mana pun.
Konsep Paulus tentang keluarga Allah terlihat dalam surat Efesus. Terjadi kerenggangan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Orang Yahudi mengatakan bahwa Allah Israel adalah Allah mereka juga karena kepada Israel keselamatan dijanjikan (Luk. 3:38; Yes. 63:16; 64:8). Hal ini dilanjutkan oleh Yesus Kristus yang lahir dan berasal dari keturunan Israel. Berdasarkan kenyataan ini, orang Yahudi menganggap orang non-Yahudi sebagai orang kafir yang tidak memiliki Allah. Orang Yahudi memahami diri sebagai anak Allah secara antropologis. Keluarga Allah menurut orang Yahudi ditemukan dalam kelompok suku dan ras. Dalam konteks seperti ini, maka Paulus ingin menyatakan damai sejahtera Kristus bagi anggota jemaat dan orang-orang lain di Efesus. Sejak mereka belum mengenal Allah, keadaan mereka terlepas dari Kristus, di luar kewargaan Israel. Namun, ketika mereka mengenal Kristus, maka darah Kristus telah memusnahkan tembok perseteruan yang selama ini menjadi tembok pemisah antara Yahudi dan non-Yahudi (Ef. 2:19). Di dalam Kristus mereka diberikan hak-hak atau tempat yang sama dengan orang Yahudi. Dalam arti bahwa, orang-orang non-Yahudi juga menjadi ahli waris yang sah. Orang-orang Kristen non-Yahudi adalah bagian dari Israel. Bukan berarti sebagai pengganti Israel, Israel yang baru, melainkan melanjutkan sejarah keselamatan.
Gereja merupakan tempat persekutuan orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Dengan demikian gereja harus menjadi tempat di mana seorang merasa betah sebagai anggota keluarga (at home). Dari sudut pandang etis, ciri ini harus ditekankan. Sejak seorang Kristen lahir atau menjadi Kristen, ia telah menjadi anggota keluarga Allah. Karena itu, dalam persekutuan dengan anggota keluarga Allah maupun anggota yang lain, setiap orang memiliki tanggung jawab dan sekaligus hak istimewa sebagai keluarga Allah. Tanggung jawab itu menurut rasul Paulus bahwa…….selagi masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.
Penekanan mendalamnya adalah pada “kasih kepada saudara-saudara seiman” yang menjadi sekeluarga. Saling mengasihi tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi dll.
Hak istimewa di sini adalah menjadi anggota penuh dalam keluarga Allah. Dengan demikian mengambil bagian dalam segala berkat warisan yang dijanjikan. Orang Kristen Yahudi maupun non-Yahudi bukan tamu atau orang asing, melainkan mereka juga memperoleh status sebagai anggota keluarga Allah yang penuh dalam gereja (Ef. 2:19). Jemaat Kristen saling menerima, baik itu Yahudi maupun non-Yahudi. Kisah Kornelius (Kis. 10) mencatat bahwa menerima orang non-Yahudi ke dalam iman berarti memasuki rumah mereka, dan menerima keramah-tamahan dari mereka berarti mengikutsertakan orang-orang non-Yahudi dalam persekutuan semeja yang berkaitan erat dengan tidak terpisahkan.
Warga gereja adalah saudara dan saudari yang dipersatukan bukan oleh marga, suku, bahasa, sejarah, ideologi dan kebangsaan, melainkan oleh Allah. Sebagai keluarga Allah, gereja merupakan anak dari satu Bapa yang menerima semua anggota sebagai anak-anak-Nya yang sama dikasihi-Nya tanpa membedakan satu dengan yang lain. Setiap warga gereja memiliki hak sebagai ahli waris karena semua warga dalam gereja merupakan anak-anak dari satu Bapa. Keluarga dalam gereja adalah orang-orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan mereka menjawab panggilan itu lalu berkumpul dan membentuk persekutuan. Mereka yang berkumpul ini terdiri dari berbagai latar belakang sehingga memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan dalam gereja itu merupakan suatu kekayaan untuk kemuliaan Kristus.
Semua warga gereja merupakan satu keluarga Allah, dengan maksud untuk menekankan karakter persaudaraan yang intim, personal dan akrab antara sesama warganya. Di dalam gereja perlu menghargai hubungan darah, marga, etnis dan sebagainya, namun persekutuan di dalam gereja tidak boleh didasarkan pada semuanya itu. Allah sang Bapa yang memanggil dan memutuskan, jadi bukan berarti bahwa kita secara pribadi memilih siapa saja yang menjadi anggota keluarga. Ia memanggil semua orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi, laki-laki dan perempuan, besar-kecil, tuan-hamba, kaya dan miskin ke dalam keluarga.
GMIT mengambil alih gambaran itu sebagai identitas eklesiologinya. Gereja adalah rumah Allah, Yesus Kristus adalah tiang induk dalam rumah itu. Semua anggota adalah saudara dan saudari. Persaudaraan bersifat mendunia. Ia menerobos batas yang manusia tetapkan. Semua komitmen kepada ikatan keluarga jasmani, yakni ayah, ibu, saudara perempuan dan saudara laki-laki tidak dibatalkan atau digantikan, melainkan diperbaharui dan diperluas. Persaudaraan itu tidak lagi bersifat pada hubungan biologis saja, tetapi berbasiskan iman (Gal. 4). Gereja sebagai keluarga Allah bukan berarti membatasi warganya untuk bergaul dengan warga gereja lain atau melarang warganya untuk mencari saudara dan saudari di gereja lain melainkan terbuka untuk bergaul dengan mereka, saling memperhatikan, mengasihi dan bekerja sama.
Konteks Klasis Amanuban Timur
Setiap jemaat-jemaat GMIT di Amanuban Timur hampir seratus persen persekutuan sesuku, semarga. Di Jemaat-jemaat tertentu sulit menerima marga-marga tertentu menjadi bagian dari persekutuan di jemaat setempat. Dalam konteks demikian, jemaat-jemaat di Amanuban Timur bergumul dengan tiga faktor yang mempengaruhi identitas keberagamaan, yakni, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Faktor-faktor tersebut disadari oleh saudara-saudara seiman baik sesama warga GMIT maupun gereja-gereja lain. Apakah kesadaran untuk menolong sesama keluarga Allah atau motivasi lain? Menolong untuk memberdayakan sesama keluarga Allah ataukah membuat sesama keluarga Allah tetap tergantung pada uluran tangan?Jadilah keluarga Allah yang meberdayakan.
Allah menjadi Bapa bagi Israel karena Allah yang bekerja, kreatif menciptkan dan membebaskan. Jemaat-jemaat GMIT di Amanuban Timur menjadi keluarga bagi setiap orang dari berbagai marga, suku, gereja, dll., tanpa kehilangan identitas.
Selamat memasuki bulan Keluarga.