INTIMIDASI ATAS NAMA AGAMA: BELAJAR DARI CERITA YESUS MENYEMBUHKAN ORANG KUSTA
INTIMIDASI ATAS NAMA AGAMA: BELAJAR DARI CERITA YESUS MENYEMBUHKAN ORANG KUSTA
Cerita-cerita dalam Perjanjian Lama penyakit kusta dihubungkan dengan dengan dosa. Misalnya Miryam seluruh tubuhnya menjadi kusta karena melawan Musa utusan Tuhan (Bil. 12:1-10), demikian juga Gehazi karena menginginkan uang dalam pelayanan. Sebaliknya, Kusta Naaman karena ketaatannya ( 2 Raj. 5:1,9-14), dst.
Pada waktu itu kusta dilihat bukan sebagai sebuah persoalan medis melainkan masalah teologis kutukan karena dosa, dihukum Allah.
Dalam cerita ini Yesus tidak menghubungkan penyakit kusta dengan dosa.
Istilah kami orang Dawan Amanuban Timur Naketi.
Waktu itu orang yang kena kusta dikarantina. Saya membayangkan masa kini bagi mereka yang terkena virus Corona lalu dikarantina karena takut menular kepada orang lain.
Pada masa Yesus mereka pengidap kusta sangat didiskriminatifkan. Perlakuan diskriminatif dimulai dari para pemuka agama karena diumumkan oleh para imam (baca: Imamat 13). Mereka hidup dijauhkan dari perkampungan dan disuruh meneriaki diri mereka kepada orang-orang pada umumnya bahwa mereka mengidap kusta.
Teriakan untuk menjauhi bukan untuk mencegah penularan melainkan aturan agama tentang kenajisan yang berhubungan dengan dosa keagamaan.
Agama membangun stigma negatif terhadap orang sakit.
Saat mereka didiskriminasikan atas nama ajaran agama Yesus menerima mereka. Ia menyebutkan mereka bahkan menyuruh melaksanakan kewajiban agama. (Matius 8:4) Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.”
Bukti Yesus tidak anti tradisi dan ajaran agama. Yesus menginginkan agar si sakit diterima kembali dalam kalangan keagamaan, keluarga. Stigma negatif dihapus agar orang bebas untuk hidup.
Yang menarik dari cerita ini ialah si pengidap penyakit kusta ini tidak memaksa.
(Matius 8:2) Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”
Dia menyapa Yesus dengan kata “Tuan” yang artinya pemilik hidup.
Misalnya, ayam ini punya tuan; saya tuan ayam jadi saya mau jual ayam itu urusan saya.
Si kusta berpikir Yesus sama seperti para imam, rabi, waktu itu yang menjauh dari orang yang mengidap penyakit tersebut.
Dari ucapannya si kusta “jika tuan mau dapat mentahirkan aku” menunjukkan kepasrahan kepada Sang Pemilik hidup.
Karena itulah Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari penyakitnya.Tahir tidak hanya soal kesembuhan dari tubuh yang kena penyakit namun kesucian lahir dan batin yang membuat seseorang berani keluar dari intimidasi dan diskriminasi atas nama apapun. (FN).