KEADILAN KEMERDEKAAN DARI BAWAH BUKIT FATUKOPA; MERDEKA DARI dan MERDEKA UNTUK

    

KEADILAN KEMERDEKAAN DARI BAWAH BUKIT FATUKOPA

                                          MERDEKA  DARI dan MERDEKA UNTUK

Pdt. Frans Nahak


Teman saya bercerita bahwa hari ini, Sabtu, 17 Agustus 2019 gebyar upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-74 yang ditayangkan oleh televisi swasta maupun nasional di penjuru Tanah Air sangat memukau. Sejenak, kerap pasukan pengibar bendera dan orkes yang menggemakan lagu-lagu perjuangan menjadi tontonan yang menimbulkan decak kagum.

Kami hanya mendengar cerita dari teman tak bisa menyaksikan di televisi, apalagi anak-anak kami pergi untuk ikut merayakan. Kami belum kelihatan karena masih di belakang bukit Fatukopa.

Ingar-bingar perayaan kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh mereka. Terbesit tanya tumbuh dibatin yang merdeka namun tak semerdeka karena cahaya pagi dibatasi oleh bukit itu.

 Apakah mereka yang lapar dan menderita busung lapar, anak jalanan, penjual koran, pendorong gerobak, mereka yang kehilangan ayah dan ibu juga ada ingar-bingar kemerdekaan itu? Mereka pergi mencari hidup di daerah seberang merayakan dan menjadi korban kekerasan? Apakah kemerdekaan dirasakan secara nyata oleh kaum kecil. Atau bagi mereka peringatan kemerdekaan dan gebyar-gebyar yang menyertainya hanya simbolis belaka. Hanya sebuah hari libur. Hanya hiburan sesaat. Kemerdekaan bak fatamorgana karena kenyataannya adalah belenggu dan penindasan serta abainya negara kepada penderitaan rakyat marjinal dan miskin. Dibairakan kekerasan merenggut nyawa para pencari kerja.

 Itulah yang sejak lama sudah disebutkan Yoshihara Kunio.

“Birokrat kita lebih berperan sebagai pemburu rente dari pada sebagai abdi yang melayani warga secara adil.”

 Kami di bawah bukit Fatukopa merasakan itu, semua  disadari atau tidak, diakui atau tidak, di masa yang disebut merdeka ini. Situasi seperti itu mengingatkan kembali pada situasi masa penjajahan dahulu. Rakyat mencari kesempatan untuk bisa hidup tenang karena kesempatan itu sangat sempit sekali. Begitu pula di masa kini, kesempatan untuk hidup tenang dan damai makin mahal harganya. Harga barang mahal bagi kami, anak-anak kami jalan berkilo-kilo meter bersekolah untuk kemerdekaan masa depan. Tanah kami tandus karena kekeringan, untuk mendapat air sejerigen jalan berkilo-kilo. Kerngat yang jatuh melebih air yag kami bawa.

 Mari kita belajar dan meneruskan cita-cita founding fathers kita tentang hidup bersama sebagai bangsa. Hidup berbangsa dengan melihat bangsa ini sebagai rumah bersama, perbedaan adalah karunia Tuhan, dan mengembangkan sikap kemerdekaan adalah untuk semua, bukan untuk sebagian golongan.

 Sebagai orang Kristen di repulik ini  kita perlu merenungkan. Kata Rasul Paulus
“Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk  perhambaan.” (Galatia 5:1)
Di sini tersirat, paling kurang dua macam kemerdekaan, yaitu kemerdekaan semu, di mana orang kelihatan seperti merdeka, tetapi sesungguhnya masih di bawah perhambaan, dan kemerdekaan sejati di mana orang bebas dalam arti yang sesungguhnya, mampu mengungkapkan diri secara penuh, tidak berada di dalam tekanan siapapun dan apapun. Paulus memakai istilah kuk, biasa dikenakan kepada sapi yang menarik bajak guna mencegahnya untuk tidak berjalan ke mana-mana. Tergambar jelas bahwa kemerdekaan yang dicapai itu bukan hanya sekedar merdeka dari, tetapi lebih dari itu merdeka untuk, berpikir, bersuara dan bertindak dengan penuh tanggungjawab. Itulah kemerdekaan yang kreatif menciptakan dan membangun.
Para pendiri bangsa ini cukup cerdas untuk melihat bahwa kita tidak sekedar merdeka Dari yang statis, tetapi juga merdeka Untuk yang bersifat dinamis. DIRGAHAYU REPULIK INDONESIA YANG KE 74.

Klasis Amanuban Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *