KITA ANAK-ANAK YANG DIPELIHARA BAPA- GALATIA 4:1-11
KITA ANAK-ANAK YANG DIPELIHARA BAPA
GALATIA 4:1-11
Di sebuah pusat perbelanjaan, para karyawan toko heran dengan seorang pemuda yang tingkah lakunya agak berbeda dengan orang-orang yang masuk berbelanja. Si pemuda ini jalan kian kemari dengan rasa percaya diri. Terkadang kaki atau tangannya menyentuh barang-barang pajangan dalam toko namun biasa saja, diraut mukanya tidak kelihatan rasa takut atau segan terhadap para karyawan yang ada. Berbeda dengan semua orang yang masuk di toko tersebut. Karyawan menatap satu dengan yang lain, namun mereka tidak kenal pemuda ini. Kemudian si pemuda jalan menuju ke tempat kasir. Ia duduk di samping kasir yang adalah pemilik toko. Mereka bercerita dan bersenda gurau, seperti orang tua dan anak. Terakhir baru diketahui oleh karyawan bahwa si pemuda ini adalah anak sulung dari pemilik toko. Selama ini anak tersebut berada di luar negeri dan baru saja datang.
Kelakuan si pemuda menunjukkan toko ini adalah milik ayahnya.
Cerita ini membawa kita dalam perenungan ini.
Dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia, salah satu pokok perdebatan teologis sosiologis yang mencuat ke permukaan adalah status sebagai anak-anak Abraham. Secara sosiologis, orang-orang Yahudi memandang Abraham sebagai bapa leluhur bangsa Israel dan mereka memiliki status sebagai “tunas” atau “anak-anak Abraham”. Orang-orang non-Yahudi bisa memperoleh status itu jika mereka melakukan beberapa syarat, yakni: melaksanakan Taurat, disunat, dan mempersembahkan korban. Status itu merupakan suatu tanda yang membedakan mereka sebagai bangsa pilihan Allah dengan bangsa-bangsa lain, karena Allah telah memilih mereka sebagai umat pilihan dan pewaris janji-Nya.
Status ini dipakai juga oleh Rasul Paulus, lalu dikenakan kepada orang Kristen sebagai “anak-anak Abraham”. Paulus menolak sunat dan hukum Taurat sebagai syarat memperoleh status itu. Menurut Paulus, orang-orang Kristen non-Yahudi tidak perlu disunat sebab sunat merupakan tradisi Yahudi saja.
Persoalannya adalah, apakah setiap orang harus masuk menjadi proselit Yahudi barulah memperoleh status sebagai anak-anak Abraham dan beroleh selamat? Menurut Paulus, iman itu menjadi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh status sebagai anak Abraham itu (Gal. 3:7). Oleh sebab itu, orang non-Yahudi yang masuk Kristen tidak perlu menjadi proselit.
Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan perdebatan antara“ lawan-lawan Paulus” yang datang ke Galatia itu dengan Rasul Paulus. Paulus menyebut lawan-lawannya itu sebagai “saudara-saudara palsu” (Gal. 2:4). Mereka beralasan bahwa: Pertama, hukum perjanjian itu telah diikat sedemikian kuat di antara orang Yahudi dalam pengertian sebagai identitas etnik yang menandai mereka sebagai umat pilihan Allah. Suatu identitas yang berbeda dari bangsa-bangsa lain. Kedua, ada keyakinan di kalangan kelompok Yahudi itu bahwa hukum perjanjian itu harus dilaksanakan oleh umat perjanjian. Pengajaran dan desakan kelompok orang Kristen Yahudi itu secara tidak langsung telah menempatkan orang Kristen Galatia di persimpangan jalan.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah mereka harus menerima perjanjian sunat sesuai dengan desakan dari orang Kristen Yahudi itu dan melaksanakan hukum Taurat, supaya mereka menjadi anak-anak Abraham secara penuh? Ataukah mereka tetap setia kepada pemberitaan Paulus bahwa oleh iman, mereka telah dibenarkan dan telah menjadi anak-anak Abraham?
Mengapa Paulus begitu kuat menekankan iman sebagai dasar pembenaran dan menjamin status seseorang menjadi anak Abraham? Padahal ia adalah seorang Farisi yang dahulu mengajar orang Yahudi agar mereka disunat dan melaksanakan semua ketentuan hukum Taurat itu dengan sempurna. Bagi Paulus, pertama, Injil yang ia beritakan adalah Injil Kristus yang membebaskan, memerdekakan bukan Injil lain yang menjadi kuk perhambaan. Injil yang Paulus beritakan adalah Injil tanpa sunat sebab Injil yang ia beritakan itu ia peroleh bukan dari manusia melainkan oleh penyataan Yesus Kristus (Gal.1:12).
Kedua, orang percaya telah menjadi anak-anak perjanjian. Pandangan Paulus itu didasarkan pada Kejadian:16. Dari kutipan itu, Paulus menegaskan bahwa “iman Abraham itu diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran” (Gal. 3:6). Iman Abraham itu menjadi contoh pembenaran oleh Allah (Gal. 3:7). Maka mereka yang hidup dari iman itulah yang memperoleh pembenaran. Iman itu memampukan setiap orang yang menerimanya memiliki komitmen untuk mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah. Karena iman itu adalah suatu anugerah maka iman itu tidak bisa dibayar dengan apa pun. Menurut Paulus orang-orang yang memiliki iman inilah yang disebut sebagai υἱοὶ Ἀβραάμ (hu ioi Abraham) ‘anak-anak Abraham’(Gal.3:7) bukan sunat.
Bertolak dar dasar tersebut, maka dalam bacaan kita saat ini, dapat kita rumuskan beberapa pokok: Pertama, ayat 1-3 jika sudah percaya Kristus namun masih terikat pada hukum Taurat maka belum menjadi anak dewasa. Paulus pun menggunakan konsep warisan sebagai bagian dari hubungan antara umat dengan Tuhan. Selama seorang ahli waris belum akil balig, sedikit pun ia tidak berbeda dengan seorang hamba. Ketidakdewasaan membuat seorang tidak memiliki prinsip hidup sehingga mengikuti saja roh-roh dunia.
Bagi Paulus, ketika orang yang telah percaya kepada Kristus lalu masih melaksanakan aturan dalam hukum Taurat, maka s menukarkan iman kepada Kristus dengan menghambakan diri kepada hukum Taurat, telah dianggap menolak warisan. Artinya, mereka yang sebenarnya telah menerima keselamatan dengan beriman kepada Kristus justru telah menolak keselamatan tersebut pada saat mereka lebih memilih untuk hidup di bawah otoritas hukum Taurat.
Kedua, ayat 4-7, Tuhan yang “menjadikan” kita anak. Manusia diperbudak oleh hukum Taurat dan manusia tak berdaya untuk bangkit dari perbudakan hukum Taurat sehingga Allah mengutus Yesus datang ke dalam dunia melalui seorang perempuan yang takluk di dalam hukum Taurat. Di sini kita menemukan salah satu makna Natal, di mana Allah memilih Maria untuk menjadi bunda Yesus. Ia harus sama dengan manusia dan merasakan dan mengalaminya. Dan apa yang dirasakan dan dialami itu yang membuat-Nya bisa memulihkan, memberi perubahan. Ia datang untuk menebus (membeli) manusia. Hukum Taurat membuat orang percaya sebagai hamba bukan sebagai anak yang merdeka. Jadi bagi Paulus, kita “diangkat” menjadi anak Allah bukan anak kandung. Kita menjadi anak sehingga kita juga memilik warisan keselamatan sehingga kita dapat memanggil Dia “ya Aba, ya Bapa” melalui pekerjaan Roh Kudus dalam hati. Hukum Taurat melarang umat Israel memanggil Allah sebagai Bapa, namun di dalam Yesus kita memanggil Allah sebagai Bapa. Hal ini menunjukkan keakraban sebagai orang tua dan anak. Orang tua yang bertanggungjawab memelihara anak-anaknya.
Ketiga, ayat 8-11, karena telah menjadi anak Allah, maka jangan lagi kembali kepada hidup yang lama. Bagi Paulus, kita sudah “diangkat” menjadi anak, jangan lagi kita memperhambakan diri kepada kehidupan yang lama, jauh dari Tuhan. Hidup dalam dosa. Paulus mengingatkan agar hidup sebagai anak yang merdeka, tetapi jangan juga gunakan kemerdekaan untuk hidup dalam dosa (5:13). Merdeka bukan berarti sewenang-wenang berbuat ini dan itu, tetapi kemerdekaan ada rambu-rambunya. Hak dan kewajiban. Sebagai anak dalam rumah, namun ada aturan dalam rumah yang perlu diikuti. Bukan beban. Tidak ada anak yang hidup dalam rumahnya lalu menganggap aturan dan disiplin dalam rumah sebagai beban.
Renungan :
Pertama, kita masih dalam suasana Natal dan kita akan memasuki tahun baru 2024. Tahun 2024 kita harus hidup sebagai orang-orang yang dewasa dalam iman. Indikasi bahwa orang yang telah dewasa dalam iman adalah tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran yang tidak sehat. Ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran agama dan gerejanya. Orang yang dewasa dalam iman orang yang memilik prinsip iman dan prinsip hidup. Orang-orang yang tidak tergoda dengan roh keserakahan, ketamakan, hidup berfoya-foya, tidak puas dengan apa yang ada, tidak mau makan apa yang ada tetapi maunya makan apa yang tidak. Saat kita ada dalam pasar modern, hal ini menjadi tantangan bagi kita. Pasar modern membuat kita tidak puas dengan apa kita miliki, membuat kita selalu merasa kekurangan dalam hidup. Bagaimana sikap kita sebagai orang-orang dewasa dalam iman menyikapi kondisi yang demikian?
Orang dewasa dalam iman adalah orang yang memiliki prinsip. Bukan seperti anak kecil yang mau semua barang dan mau pegang semua barang.
Kedua, syukur kepada Allah karena kita dijadikan atau diangkat sebagai anak – anak Allah. Oleh karena itu, kita diajar untuk hidup dalam syukur kepada Allah. Sebagai seorang anak, bagaimana sikap kita terhadap orang tua yang mengorbankan segala sesuatu untuk hidup anak-anak? Tidak ada orang tua yang menuntut anak-anaknya membalas setiap pengorbanannya. Namun sebagai anak, harus sadar dan tahu berterima kasih kepada orang tua, melalui kerja nyata, tindakan dan sikap kita. Itulah kebanggaan orang tua. Demikian juga kita sebagai anak dan Tuhan Allah sebagai orang tua. Kita juga percaya, bahwa Allah Bapa memelihara kita. Tidak ada orang tua yang melihat anak-anaknya menderita. Kita hidup dunia adalah milik Bapa kita, yakni Tuhan Allah. Karena itu kerjakanlah sesuatu dengan syukur.
Ketiga, hiduplah sebagai anak-anak yang merdeka, bukan berarti bebas melakukan apa saja. Jangan “memanfaatkan” kebaikan hati Bapa untuk terus melanggar aturan. Allah itu kasih namun ada keadilan. Hiduplah sebagai anak-anak merdeka, namun ada hak dan kewajibanmu, hak untuk berkreativitas namun menghargai hak orang lain. Di malam kunci tahun ada mempunyai hak untuk ekspresi, namun ada tetangga yang sementara beribadah atau beristirahat, jangan sampai hakmu mengganggu hak orang lain, sebab Anda mengganggu maka Anda berurusan dengan kewajiban, yakni pihak yang berwajib menangani Anda. Anda wajib taat pada aturan sebagai anak, dst…
Keempat, Allah sudah memerdekakan dari perbudakan karena itu jangan atas nama Tuhan kita memperbudak jemaat, atas nama pembangunan orang kecil menjadi budak, atas nasib mereka kita peralat, dst.. Amin. FN.