MEMBERITAKAN INJIL SEBAGAI PERINTAH ALLAH – Matius 28:16-20

MEMBERITAKAN INJIL SEBAGAI PERINTAH ALLAH

Matius 28:16-20

PENGANTAR

Seorang Misiolog Barat, de Jong, yang sudah lama mengabdi di Indonesia, mengatakan bahwa pemberitaan Injil  adalah unsur ‘inti’ gereja. Suatu gereja yang tidak melakukan pemberitaan Injil, sebenarnya tidak boleh menyebut diri lagi sebagai gereja. Gereja ada karena ada pemberitaan Injil, bukan sebaliknya. Berpartisipasi dalam pemberitaan Injil berarti berpartisipasi dalam gerakan cinta kasih Allah ke dunia ciptaan-Nya.

Pertanyaan bagaimana melaksanakan perintah itu dalam konteks kemajemukan, kemiskinan, masalah ekologi, kekerasan, dst.? Bagaimana perintah pemberitaan Injil dilaksanakan di Klasis Amanuban Timur dalam masalah indentitas keagamaan, masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan? Dalam gereja sendiri para pelayanan (pemberita) berhadapan dengan primordialisme dan feodalisme; dalam konteks yang demikian bagaimana Injil diberitakan?

Perintah itu harus dilakukan dengan menyadari akan konteks di mana gereja itu hadir dan berkarya.

PEMBAHASAN TEKS

Sebelum Yesus terangkat ke surga, Ia meminta kepada para murid untuk berkumpul dan memberikan pesan kepada mereka. Pesan yang disampaikan oleh Yesus jelas (tegas) terdapat pada bagian akhir Injil Matius, Markus, dan Lukas. Penyampaian pesan tersebut jelas dalam Injil Markus 16:15-20. Pesan ini juga terdapat persis (namun beda penekanan) dalam Injil lainnya, yaitu dalam Luk. 24:46-53 dan Mat. 28:16-20. Pada dasarnya, pesan Yesus kepada para murid ini memiliki susbtansi yang sama pada setiap Injil, tetapi yang menariknya setiap Injil memiliki perbedaan di setiap tekanan yang terdapat pada pesan tersebut. Tekanan pada Injil Lukas berpusat pada perintah yang bersifat ajakan untuk melakukan pertobatan agar memperoleh pengampunan dosa. Injil Matius berpusat pada perintah yang terwujud dalam pengajaran dan melakukan pembaptisan. Sedangkan, pada Injil Markus sendiri fokusnya agar kabar gembira dinyatakan (diwartakan) kepada siapa pun yang ada di dunia. Lumintang mengatakan bahwa perintah untuk melakukan pemberitaan Injil dalam Injil Matius 28:19-20 adalah perintah meninggalkan, melintasi batas sosial, rasial, kultural, geografis. Sebenarnya sangat jelas bahwa misi Tuhan Yesus adalah misi yang sifatnya “inklusif”, artinya terbuka untuk semua orang tanpa mengenal latar belakang apapun.

Dalam bacaan ini, Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Ada tiga bagian penting yakni pemberian otoritas dari Yesus, mandat Yesus yang berkesinambungan, dan pemberian sebuah janji penyertaan oleh Yesus.

Pertama, pemberian otoritas dari Yesus (ayat 18). Setelah kebangkitan-Nya, Yesus memiliki otoritas atas seluruh dunia. Tidak ada wilayah, bangsa, atau budaya yang tidak berada dalam daerah kekuasaan dan otoritas-Nya.

Kedua, setelah memperoleh otoritas penuh, kemudian Yesus memberikan mandat/amanat/perintah kepada para murid-Nya. Mandat itu disampaikan dalam empat kata kerja present tense, yaitu “Pergi”, “Jadikan Murid”, “Baptislah” dan “Mengajarkan”.

Penjelasan dari empat kata kerja sebagai berikut. “Pergi” (poreuthentes) sama dengan berangkat, bepergian, berjalan, meneruskan perjalanan, berlalu, hidup, dan meninggalkan. Arti bahasa Yunani, poreuthentes dapat dimengerti sebagai go (pergi), proceed (lanjutkan), dan travel (melakukan perjalanan). Dari tiga arti ini, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Amanat Agung harus dilakukan dalam setiap situasi, di mana saja kita berada (sementara kamu pergi), di komunitas hidup sehari-hari (melanjutkan….), dan terlibat dalam pelayanan, (melakukan perjalanan…..). Murid-murid dipanggil untuk taat sampai mati seperti Kristus sendiri.

“Jadikan Murid” (matheteusate) mempunyai kata dasar mathetes (murid). Sangat menarik, Matius dengan sengaja merubah kata benda “murid” menjadi kata kerja (jadikan murid). Bentuk kata kerja dari kata ini hanya muncul empat kali dalam Perjanjian Baru (Mat. 13:52; 27:57; 28:29; Kis. 14:21). Sutanto mengartikan matheteuo sebagai “menjadi murid” dan “menjadikan murid”. Kata ini adalah “jangkar” yang menjadi titik tolak ketiga kata kerja lainnya. Kata ini adalah perintah dalam bentuk verbal dalam ayat 16 sampai ayat 20. Tomatala mengatakan bahwa para murid diperintahkan untuk menjadikan murid melalui pergi, mengajar, dan membaptis. Pada bagian inilah dapat dilihat arti penginjilan secara “operasional-objektif,” yaitu penginjilan yang aktif dan dinamis umat Allah dengan tujuan untuk menjadikan murid.

Namun menariknya, Agustinus Gianto dalam tulisannya yang berjudul “Teks dan Konteks Yang Tiada Bertepi” dengan berani mengatakan bahwa, baiklah narasi Yesus tersebut hendak untuk tidak dipahami sebagai mandat kepada umat manusia untuk membuat semua bangsa yang ada di dunia bertobat dan beralih menjadi murid Yesus. Ia menawarkan rumusan kalimat baru agar narasi Yesus tersebut tidak diartikan sebagai perintah untuk menobatkan semua bangsa. “Kalian pergilah ke berbagai tempat dan temuilah macam-macam orang dan perlakukan mereka itu sebagai murid-Ku”, itulah kalimat yang ia tawarkan. Jadi, secara sederhana penekanan narasi Yesus itu bukanlah ajakan untuk membuat semua bangsa menjadi murid Yesus dengan melakukan pengajaran kepada mereka, tetapi yang Yesus inginkan adalah agar semua murid hendaklah bersikap untuk menjadikan semua orang yang ditemui, sebagai sesama murid (entah siapa pun mereka). Perintah yang luhur tersebut juga berlaku sampai sekarang agar ketika melakukan aktivitas dan menjumpai siapa saja, hendaklah kita menganggap mereka sebagai sesama, sebagai murid-Nya.

Pengertian “Mengajar” tentunya pengajaran tentang keselamatan yang menuntun orang yang tidak percaya menjadi percaya dan menuntunnya untuk mengikrarkan kepercayaannya dalam upacara baptisan. “Baptislah” adalah bentuk perticiple maskulin jamak yang berfungsi sebagai subyek. Kata ini tidak berbentuk perintah, namun karena hubungan dan kedudukannya dengan kata kerja yang mempengaruhinya, maka kata ini mempunyai kedudukan untuk menyampaikan gagasan perintah. Sutanto menerjemahkan baptizo sebagai “membasuh (dalam penyucian ritual orang Yahudi); membaptis.” Nuansa baptisan sebagai tindakan yang mencerminkan dedikasi. Sebagai langkah lanjutan setelah percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru-selamatnya. Baptisan juga merupakan pengakuan penerimaan mereka yang dibaptis ke dalam persekutuan tubuh Kristus. Setelah itu mereka harus diajarkan semua hal yang diperintahkan Kristus. Perintah itu dikatakan Yesus menggunakan keterangan waktu berupa “present tense,” sehingga tidak mempunyai batas waktu.

Ketiga, pemberian sebuah janji oleh Yesus (ayat 20). Sebelum pemberian janji oleh Yesus, Dia memberikan perintah berupa kata kerja yang keempat yaitu διδάσκοντες (untuk mengajarkan semuanya). Dengan kata lain, setelah baptisan dilakukan, aktivitas yang harus dilakukan berikutnya adalah mengajarnya. Penekanan Yesus adalah pada pengajaran yang sehat dan berkesinambungan. Pengajaran yang baik akan menghasilkan murid yang pada waktunya juga akan memuridkan orang lain. Semua proses pemuridan ini ditutup dengan sebuah janji yang manis. Yesus berjanji tidak akan meninggalkan para murid-Nya melainkan akan selalu menyertainya sampai finalitas zaman. Janji ini berlaku bagi setiap murid di setiap zaman dan di setiap tempat. Bahkan, janji penyertaan ini bukan sekedar menyertai saja. Sutanto memberikan beberapa arti yang lain yaitu “dengan bantuan; memihak.” Berarti selain menyertai, Yesus juga membantu dan memihak para murid-Nya dalam segala kesulitan. Dengan demikian, perintah itu tidak hanya untuk dilakukan orang-orang tertentu, pada waktu yang tertentu, melainkan untuk dilakukan oleh semua murid- murid-Nya di sepanjang zaman.

PENUTUP

Renungan:

Pertama, sebagai murid Yesus (gereja) pemberitaan Injil adalah perintah yang harus dilakukan karena perintah tersebut dari Tuhan Yesus. Dia yang memberikan perintah itu adalah Tuhan, memiliki otoritas atas seluruh dunia, tidak ada wilayah, bangsa, atau budaya yang tidak berada dalam daerah kekuasaan dan otoritas-Nya, maka sebagai pemberita Injil jangalah takut. Dia terus menyertai kita sesuai dengan janji-Nya. Menurut Injil Markus ada tanda-tanda yang menyertai (16:17-18), artinya bahwa kuasa-Nya menyertai kita. Membela kita dari berbagai kuasa yang mengancam kehidupan. Dia tidak hanya menyertai, namun memihak kepada para murid-Nya dalam segala kesulitan. Tidak ada pelayan (pendeta) yang “kelaparan” di jemaat karena pelayanan. Teman saya memberikan kesaksian bahwa pada suatu kali jemaat yang ia layani tidak mampu membayar tunjangannya, beras yang ada hanya cukup untuk masak bubur bagi anak-anak dalam rumah dan untuk makan siang ini saja. Mau ke kota untuk mengambil gaji pokoknya di bank, namun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan kondisi jalan yang tidak bersahabat. Salah satu anaknya dalam keadaan sakit. Setelah makan siang, dia bersama isterinya masuk dalam kamar tidur mereka untuk berdoa. Setelah berdoa ia mempersiapkan dirinya untuk pergi memimpin sebuah ibadah syukuran. Dia berangkat sampai malam harinya baru dia pulang. Sesampai di rumah semua sudah ketiduran. Ia menuju ke meja makan ada nasi di atas meja. Lalu ia membangunkan isterinya dan bertanya tentang makanan tersebut. Lalu isterinya bercerita bahwa dia yang mendapat arisan kaum ibu. Dari kesaksian kawan tersebut merupakan bukti bahwa Tuhan memihak kepada para pelayan-Nya.

Kedua, kata perintah “pergi” keluar dari kebiasaan yang lama. Murid-murid hidup dari tradisi dan agama Yahudi yang ekslusif, klaim keselamatan hanya miliki mereka, kini harus pergi memberitakan bahwa keselamatan itu milik seluruh umat manusia dari berbagai latar belakang. Bagaimana “pergi” keseluruh dunia dalam konteks moderen? Dunia dalam konteks kekinian “tidak selebar daun kelor”? Kita hanya duduk di dalam rumah, di bawah pohon, di kebun, membuka gadget kita, maka raga kita di sini namun mata dan hati kita berada di negara lain. Tugas kita ialah melakukan perintah pemberitaan Injil melalui gadget kita. Maka dengan demikian, bunyi status di Facebook, twitter, instagram, whatsApp, dls., adalah berita Injil.

Ketiga, perintah pemberitaan Injil bersifat inklusif terbuka untuk menjangkau semua bangsa, suku, budaya, agama, golongan, dll. Menjadikan mereka murid dalam konteks Amanuban Timur seperti kata Gianto, melihat yang berbeda agama sebagai sesama murid agar kita menjadi sahabat bagi mereka. Di situlah Injil diterima. Misi persahabatan harus dibangun dalam konteks yang demikian.

Keempat, gereja melakukan perintah itu dengan pelaksanaan baptisan melalui formulasi yang tepat, yakni dilakukan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Dalam konteks perintah dibaptis ini merupakan sebuah komitmen, pengakuan, dan menjadi anggota tubuh Kristus. Di GMIT setelah dibaptiskan gereja melakukan tugas pengajaran, orang tua dan saksi memperhatikan anak dalam pertumbuhan jasmani dan rohani. Tugas pengajaran dimulai dalam rumah, kemudian orang tua mengantar anak untuk sekolah minggu. Setelah itu mereka harus mengikuti pengajaran katekisasi baru ia menyatakan pengakuannya sendiri kepada Tuhan. Inilah yang disebut peneguhan sidi. Secara harafiah sidi berarti genap, penuh atau sempurna. Peneguhan sidi merupakan tindak lanjut dari penggenapan baptisan, pengajaran, yang diterima di bawah usia (pada waktu kecil). Penguatan identitas keagamaan seorang anak dimulai dari pengajaran yang benar, sehat, yang dimulai dari dalam rumah dan gereja di mana ia menjadi warganya. Jika keyakinan identitas seseorang kuat maka apapun godaan baik secara ekonomi, pendidikan dan kesehatan mereka tidak akan meninggalkan identitasnya. Kita belajar dari Yesus, Ia tidak jatuh saat dicobai oleh iblis. Sekalipun Ia lapar karena puasa, digoda dengan jabatan dan kuasa namun Ia menolak. FN.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *