MENEMUKAN SPIRITUALITAS MASYARAKAT TRADISIONAL
MENEMUKAN SPIRITUALITAS MASYARAKAT TRADISIONAL
Pdt. Frans Nahak
Masih diingatan saya pada saat terjadi gejolak Tim-Tim, banyak saudara/i yang meninggalkan kampung halaman dan mengungsi. Ketika itu di Belu Selatan (Kab. Malaka), mereka menduduki salah satu lokasi hutan lindung we mer (air asin). Hutan itu dijadikan lahan pertanian. Pohon-pohon besar ditebang. Akibatnya kerusakan alam yang luar biasa, semua mata air kering.
Kekeringan terjadi di mana-mana, namun ketika musim hujan tiba, walaupun intensitas hujan sedikit tetapi banjir di mana-mana. Dampak dari kerusakan hutan masih terasa sampai saat ini, di mana terjadi longsor yang mengakibatkan terputusnya transportasi antar kabupaten yakni Kabupaten Malaka dan Kabupaten Belu serta antar Kecamatan, Waktu itu terjadi bencana alam, banjir yang menewaskan puluhan orang (saya lupa tahun dan tanggal, yang saya ingat, saat itu masih duduk di bangku SMA). Banjir membuka mata semua pihak, tua-tua adat membuat berbagai ritus karena percaya bahwa bencana ini murka dari yang Tertinggi dan leluhur akibat perbuatan manusia.
Berbagai upaya dilakukan. Tokoh-tokoh adat melakukan berbagai ritus. Salah satu ritus yang terkenal adalah “tunu” bakar korban di pohon besar di mezba-mezba yang dianggap “berpenghuni” (no nain). Tujuannya ialah memperdamaikan kembali hubungan manusia dengan alam serta kekuatan yang terdapat di alam yang selama ini menjaga alam dan segala yang ada di dalamnya.
Pemerintah membangun kerja sama dengan gereja untuk mengadakan reboisasi sehingga waktu itu uskup agung Atambua turun ke lokasi melakukan misa (kebaktian) di lokasi. Sehabis kebaktian menanam pohon bersama.
Orang Belu percaya bahwa manusia mempunyai hubungan yang erat dengan alam sekitarnya sejak dahulu hingga sekarang. Setiap bencana yang terjadi menimpa seseorang, suku atau masyarakat, selalu bertalian dengan baik-buruknya sikap manusia terhadap alam disekitar. Malapetaka yang dialami adalah imbalan bagi kesalahan yang dibuat oleh manusia. Bencana dilihat wujud kutukan dari leluhur dan yang Tertinggi (Nai Maromak). Oleh karena itu manusia wajib berbuat yang baik dan selalu menjaga alam, baik secara langsung maupun melalui ritus-ritus yang ada. Mengapa demikian?
Pemahaman ema Tetun bahwa lingkungan hidup mereka adalah sebuah dunia mikrokosmos dari dunia makrokosmos yang luas horizonnya. Bagi ema Tetun, dunia mikrokosmos adalah raiklaran atau bumi di mana mereka hidup termasuk ciptaan yang lainnya, dan makrokosmos adalah lalean atau jagat raya. Istilah lalean (langit) dalam keyakinan iman Kristen adalah surga.
Ema Tetun meyakini bahwa dunia mereka memiliki batas-batas tertentu dan dibalik batas-batas itu terdapat dunia lain yang misteri. Namun batas-batas itu harus dijaga dengan keharmonisan antara alam dan manusia. Kehamonisan itu di jaga dengan merawat dan menjaga alam. Dengan kata lain, sebagian kecil dari dunia dapat diketahui, tetapi sebagian besarnya tidak dapat diketahui atau penuh misteri. Dan penghubung anatara dunia nyata dan dunia yang misteri adalah leluhur dan salah satu “jalan” melalui alam di sekitar manusia.
Bagian kecil mikrokosmos seperti desa atau kampung di mana mereka hidup dan melakukan setiap pekerjaan mereka sehari-hari, sedangkan bagian besar itu adalah alam raya, yakni langit dan bumi yang penuh dengan aneka ragam kehidupan yang misterius.
Kegagalan dalam menciptakan iklim yang harmonis antara dua dunia itu akan mendatangkan malapetaka dan kekacauan. Dunia sakral (makrokosmos) yang penuh dengan rahasia dianggap memiliki daya-daya yang penuh dengan rahasia yang melampaui manusia dan kemampuan-kemampuannya. Untuk menjinakkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang mengancam hidup manusia di dunia mikrokosmos ini maka manusia berkewajiban menjaga alam melalui upacara-upacara persembahan disertai dengan kurban hewan sambil melantunkan doa-doa permohonan sebagai tindakan penyembahan yang ditujukan kepada Wujud Tertinggi, Pemberi terang bagi dunia, pemilihara alam melalui perantaraan para leluhur.
TEKS ALKITAB
Dalam kisah-kisah penciptaan (Kejadian 1 dan Kejadian 2) alam dihidupkan oleh Allah dan menjadi sumber kehidupan. Alam memiliki nilai dalam dirinya. Memiliki daya dari Pencipta untuk menumbuhkan kehidupan dan manusia diberi kuasa (kabash) (Kej. 1:28). Walaupun kata “berkuasa” bisa mereduksi alam (tanah) tidak lebih dari satu “benda” atau “barang” yang manusia boleh taklukan. Namun manusia beragama salah menafsirkan sehingga berdampak pada pencemaran, pengundulan, penandusan bumi. Kabash sebenarnya diartikan pula “memiliki” sebagai mana seorang raja “memliki” dengan memimpin mengembalakan bertanggungjawab atas nasibnya. Jadi manusia berkuasa atas alam untuk memelihara dengan penuh rasa tanggungjawab.
Masyarakat tradisional Belu percaya dengan pemeliharaan alam maka ada hubungan yang harmonis atara dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos (sorga di mana yang Tertingi bertahta).
Dalam Perjanjian Lama kita menemukan cerita-cerita bapa-bapa leluhur Israel tentang membangun mezbah dan memanggil nama Tuhan. Cerita tentang Abram (Abraham) (Kej. 12:8 ; 13:4). Di atas mezbah itu ia mempersembahkan korban bakaran anak domba lalu doa dipanjatkan. Ia memohon kepada Tuhan agar melindungi keluarga, di alam yang baru untuk tanah yang tandus, dan air bagi kebutuhan ternak-ternak mereka.
Cerita nabi Elia dan nabi-nabi Baal. Kubu nabi-nabi Baal membuat ritual mereka sambil berjingkat-jingkat, menorah-noreh dirinya dengan pedang dan tombak di sekitar mezbah serta memanggil-manggil nama Baal.
Setelah itu Elia meruntuhkan mezbah itu lalu memperbaiki mezbah Tuhan kemudian mengambil kedua belas batu menurut jumlah suku Israel dan melengkapi segala sesutu di mezbah itu dan memanggil nama Tuhan Allah Abraham, Izhak dan Israel. Dari cerita yang dikutip ini menunjukan bahwa setiap suku bangsa mempunyai cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada Yang Tertinggi.
Dalam Perjanjian Baru Yesus menggenapi, Ia menjadi Anak Domba yang menjadi korban bagi manusia dan segala ciptaan. Ritual kegamaan dilaksnakan di rumah ibadah dan berpusat pada Yesus Kristus.
SPIRITUALITAS ALAM DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL
Sekularisasi penggunaan tanah, kayu, dll., membawa dampak negatif terhadap pencemaran, penggundulan, penandusan bumi. Jika kita membangun jembatan antara gereja dan masyarakat tradisional bagi pelestarian alam dan perlidungan alam, kita dapat titik temu khusunya bagi masyrakat tradisional ema Tetun. Kita menemukan makna spiritual yang kuat bagi pelestarian dan perlindungan alam. Setiap suku masyarakat tradisonal di Nusa Tenggara Timur memiliki cerita-cerita, narasi-narasi bahkan ritual untuk mendekati Yang Tertinggi melalui alam. Karena dengan demikian semua pihak ikut dan terlibat meletarikan alam dan menjaga alam.
Dalam bulan lingkungan selain berbicara tentang lingkungan di mimbar-mimbar gereja, tetapi kita juga meneliti narasi-narasi, ritual-ritual yang kaya makna spiritual bagi alam semesta. Ritual-ritual masyarakat tradisional lebih menjiwai, dan bukan barang baru bagi masyarakat tradisional.