MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI PENDIDIKAN – 2 Tawarikh 17:1-9 dan Efesus 4:17-24
MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI PENDIDIKAN
2 Tawarikh 17:1-9 dan Efesus 4:17-24
PENGANTAR
Pengalaman menjadi pendeta di pedalaman Timor, saat mencari penatua, diaken dan pengajar yang lancar membaca dan menulis sangat sulit, karena rata-rata mereka tidak bersekolah. Namun demikian, mereka mau memberi diri untuk melayani. Maka kita dapat katakan bahwa ada Sumber Daya Manusia (SDM).
Menurut pengertiannya, SDM dapat dibagi menjadi dua, yaitu SDM mikro dan SDM makro. Pengertian secara mikro adalah individu yang bekerja dan menjadi anggota suatu perusahaan atau institusi dan biasa disebut sebagai pegawai, buruh, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian SDM secara makro adalah penduduk suatu negara yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang belum bekerja maupun yang sudah bekerja.
Jika SDM diukur dari pendidikan, maka sesuai dengan data BP4S tingkat pendidikan warga GMIT didominasi oleh tamatan SD. Ijazah SD 31,35 %, SMA 23,38 %, diploma 1,74 %, S1 5,40 %, S2 0,29 % dan S3 0,02 %.
Bagaimana meningkatkan SDM? Peningkatan SDM hanya melalui pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Peningkatan SDM di dalam masyarakat tradisional, khususnya pedalaman Timor, menemui kendala.
Pertama, pemahaman masyarakat tradisional akan pentingnya pendidikan. Ada dua hal: Pertama, anak dilahirkan untuk menjaga ternak. Setiap keluarga di tempat pelayanan saya pasti memiliki beberapa ekor sapi. Saya memperhatikan bahwa setiap sore anak laki-laki yang menggembalakan untuk dimasuk ke kandang. Status sosial orang Atoni, khususnya Amanuban Timur ada pada ternak: berapa ekor sapi yang dimiliki oleh keluarga?
Beberapa orang dewasa laki-laki yang saya temui susah sekali berbicara menggunakan bahasa Indonesia karena mereka tidak bersekolah. Menurut cerita mereka, bahwa orang tua tidak menyekolahkan mereka supaya mereka bisa menjaga ternak-ternak yang ada di kampung. Mereka dilahirkan untuk menjaga sapi bukan sapi untuk anak.
Kedua, anak dilahirkan untuk mewariskan tanah. Saya bertemu dengan beberapa orang pemilik tanah namun mereka tidak sekolah. Menurut cerita mereka, bahwa anak laki-laki tidak disekolahkan sehingga bisa tinggal di kampung ini untuk menjaga tanah. Jika anak disekolahkan maka mereka tidak akan tinggal di kampung. Jadi, kita mendapat kesan “anak untuk tanah” bukan tanah untuk anak. Pemahaman ini mengakibatkan rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak
Kedua, pendidikan yang belum merata. Seperti diketahui bersama bahwa selama ini pendidikan lebih difokuskan di kota-kota. Dahulu sekolah hanya ada di kota Soe dan kota Kupang. Sekarang pun dari tempat pelayanan saya, anak-anak SMP dan SMA harus menempuh perjalanan (jalan kaki) ± 9 km. untuk bersekolah di Oe’ekam, Kecamatan Amanuban Timur. Anak-anak SD harus berjalan kaki ± 3 km.
Akibatnya banyak anak yang putus sekolah, ketika mereka dewasa diperhadapkan dengan tuntutan hidup, mereka meninggalkan kampung halaman menjadi TKI/TKW dengan SDM yang terbatas.
PEMBAHASAN
Bacaan pertama, 2 Tawarikh 17:1-9. Ketika Yosafat menjadi raja, ia sadar bahwa warisan kerajaan yang ditinggalkan oleh ayahnya tak akan bertahan jika ia tidak mengokohkan kerajaan tersebut. Kerajaan Yahuda diapit oleh kerajaan-kerajaan besar, misalnya Aram, Mesir, Asyur, Filistin dan Israel sendiri. Kondisi ekonomi dan politik bisa berubah kapan saja. Karena itu hal pertama yang dilakukan Yosafat adalah memperkuat wilayah Yahuda dari serangan musuh. Ia memiliki angkatan perang yang besar jumlahnya. Menempatkan tentara di semua kota berkubu di Yahuda dan pasukan-pasukan pendudukan di tanah Yahuda serta di kota-kota Efraim oleh ayahnya dari Israel.
Yosafat adalah seorang raja yang saleh sehingga dia diberkati Tuhan dengan luar biasa. Tuhan mengokohkan kerajaannya. Tangan Tuhan menyertai Yosafat sehingga tidak ada raja-raja di sekitarnya tak berani berperang melawan Yahuda. Ia juga mengangkat para pengajar untuk mengajar firman Tuhan di seluruh wilayah Yahuda. Ia tidak hanya menyerahkan tugas pengajaran kepada orang-orang Lewi atau imam-imam saja, sebab ia sadar bahwa jumlah orang Lewi sangat terbatas, sedangkan jumlah rakyat Yahuda sangat banyak. Jadi ia mengangkat para pengajar di luar orang Lewi. Ia juga berkeliling untuk menyerukan kepada orang Yehudi untuk berbalik kepada Tuhan (2 Taw. 19:4). Ia adalah salah seorang raja yang sangat peduli terhadap kebutuhan rohani dan jasmani bangsanya sehingga ia membangun ketahanan pangan dengan membangun benteng-benteng perbekalan.
Bacaan kedua, Efesus 4:17-24. Surat kepada jemaat di Efesus merupakan salah satu surat Paulus. Sidang pembaca di Efesus bukan orang beriman keturunan Yahudi (Ef.2:1-4.11-13;3:1-2;4;17) melainkan orang beriman non Yahudi. Sidang pembaca bergerak dalam alam pikir yang bercirikan singkritisme. Dunia (jagat raya) dipikirkan oleh orang Yunani. Ada istilah seperti “kepenuhan”, “rahasia”, “hikmat”, dll. Istilah seperti perkawinan suci yang laku di kalangan Yunani, yang terpengaruh oleh ilmu kebatinan dan agama-agama rahasia. Jadi sidang pembaca jemaat Efesus bergerak dalam kehidupan keagamaan campuran.
Dari bacaan ini, kita dapat melihat bahwa rasul Paulus mengajak umat Tuhan agar meninggalkan “manusia lama” dan jangan kembali lagi pada manusia lama, yang tidak mengenal Allah. Manusia lama adalah manusia yang jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, kehidupan yang dikuasai oleh hawa nafsu, dan seterusnya (ayat 17-19). Jemaat meninggalkan manusia lama dan kini harus menjadi manusia baru.
Manusia yang meninggalkan dewa dewi yang biasa disembah. Manusia baru telah mendengar tentang Injil dan menerima pengajaran di dalam Dia, menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus (ayat 21). Jadi jemaat telah mendapatkan didikan/pengajaran mengenai apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan harus dilakukan. (ayat 22-24).
Dari kedua bacaan yang berbeda ini kita dapat simpulkan dan menemukan beberapa pokok perenungan: bagaimana upaya Yosafat meningkatkan keamanan, dari segi politik, ekonomi dan memperkuat pengajaran. Bagi Paulus, sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus dan yang telah mendengar pengajaran Firman tentang apa yang dikehendaki Allah, maka jemaat harus meninggalkan manusia lama.
PENUTUP
Renungan:
Pertama, kita belajar dari Yosafat tentang kesadaran akan bahaya yang kelak bisa menimpa kerajaannya, oleh karena itu mengokohkan kerajaannya. Dari segi militer ia memiliki angkatan bersenjata dan menempatkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Dari segi ekonomi ia membangun ketahanan pangan. Dari segi identitas keagamaan, ia menempatkan para pengajar/pendidik untuk mengajar umat tentang Taurat Tuhan. Hal ini lahir dari kesadaran bahwa kerajaan hanya berdiri kokoh jika mereka bertindak sesuai dengan isi Taurat Tuhan. Implikasinya, jika gereja tidak mempersiapkan warganya dengan meningkatkan SDM maka gereja ada dalam “bahaya”. Bahaya yang dimaksud adalah perpindahan warga gereja ke dinominasi lain dan agama lain. Juga generasi milineal akan meninggalkan gereja.
Persoalan klasik yang dihadapi oleh gereja-gereja di Klasis Amanuban Timur adalah pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Terbatasnya SDM disebabkan rendahnya pendidikan formal dan non formal. Rendahnya SDM juga membuat jemaat “tak berdaya” mengelola potensi alam yang ada. Hal ini berdampak pada aspek ekonomi dan kesehatan.
Kedua, Yosafat sadar bahwa kokohnya kerajaan dengan meningkatkan pengajaran kepada umat Tuhan. Bagi Yosafat, sekalipun secara politik, militer dan ekonomi bangsa itu kuat, namun jika mereka berjalan tidak sesuai dengan isi Taurat maka mereka tak ada artinya. Oleh karena itu, ia juga mengangkat para pengajar dan menempatkan di berbagai kota untuk mengajar umat Tuhan tentang Taurat Tuhan. Ia mengangkat pengajar dari luar suku Lewi. Yosafat melakukan sesuatu yang keluar dari adat dan kebiasaan agama Yahudi.
Implikasinya, untuk meningkatkan SDM maka dibutuhkan manajemen yang baik. Penempatan guru ke sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan. Kemudian sebagai warga gereja harus “terbuka” untuk belajar. Terbuka untuk orang lain datang ajar kita, baik sebagai pendeta, penatua, diaken dan pengajar dari suku lain. Mereka diberi hak dan kesempatan yang sama untuk melayani di dalam gereja. Orang dari suku lain yang diutus untuk melayani dalam jabatan kepala Desa, kepala Dusun, RT/RW dari suku lain yang memimpin kita.
Pemikiran yang lama bahwa yang menjadi pemimpin di gereja dan dalam masyarakat hanya orang asli, kepala suku, tuan tanah, adalah pemikiran manusia lama. Rasul Paulus mengingatkan agar jemaat meninggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru. Manusia baru adalah manusia yang “terbuka” untuk belajar dan diajar.
Pendidikan merubah paradigma lama (tradisional). Yosafat berjalan keliling mengajar agar umat berbalik kepada Tuhan, demikian juga Paulus mengingatkan jemaat di Efesus untuk meninggalkan pikiran yang lama. Manusia yang lama juga adalah manusia yang berpikir “anak untuk sapi” bukan “sapi untuk anak”. Maksudnya, melahirkan anak hanya untuk menjaga harta dan warisan, bukan anak disekolahkan agar menjadi anak-anak yang berguna. Ironis, untuk menyekolahkan anak tidak ada uang namun untuk pesta adat ada uang. Manusia lama adalah manusia yang menjadikan harta sebagai “dewa” di mana harkat dan martabat manusia tergantung kepada harta. Manusia ada untuk melayani harta bukan harta sebagai berkat untuk melayani manusia.
Ketiga, Yosafat adalah seorang pemimpin yang sangat peduli terhadap kebutuhan rohani dan jasmani bangsanya. Ia membangun ketahanan pangan dengan membangun benteng-benteng perbekalan. Implikasinya, meningkatkan SDM merupakan kepedulian gereja untuk menghadapi tantangan. Peningkatan SDM merupakan “benteng pembekalan” gereja dan masyarakat. Jika gereja tidak mempersiapkan jemaat dan masyarakat sedini mungkin, maka kita menjadi hamba negeri sendiri, bahkan seperti “tikus yang mati di lumbung jagung atau lumbung padi”. Orang-orang muda akan keluar dari kampung halaman untuk mencari pekerjaan di daerah lain bahkan negara lain. Mereka pergi menjadi buruh dengan keterbatasan pendidikan, akhirnya mereka menjadi korban kekerasan sampai kehilangan nyawa.
Keempat, gereja yang terlibat langsung dalam pendidikan. Yosafat berkeliling untuk menyerukan kepada orang Yehudi untuk berbalik kepada Tuhan (2 Taw. 19:4). Implikasinya, sekolah-sekolah Kristen sudah ada jauh sebelum GMIT berdiri pada 31 Oktober 1948. Para misionaris memberitakan Injil secara holistik. Selain memberitakan Injil Yesus Kristus, juga merintis sekolah-sekolah Kristen sebagai pusat pengajaran masyarakat. Setelah GMIT berdiri, Indische Kerk menyerahkan sekolah-sekolah di NTT kepada GMIT. Dalam penataan pelayanan kini di bidang pendidikan berhadapan dengan berbagai persoalan yang sangat kompleks. Misalnya, organ Yapenkris yang tidak berfungsi secara maksimal, manajemen sekolah yang buruk, kebijakan diskriminatif oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, banyak sekolah GMIT yang kesulitan mendapat ijin operasional dan terjadi penarikan guru-guru PNS. Minim kesejahteraan guru, dst. Namun karena pentingnya peningkatan SDM, maka gereja sebagai lembaga melakukan berbagai cara untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Gereja-gereja lokal juga bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk membangun PPA, PAUD, TK, dst.
Kerajaan Yosafat menjadi kerajaan yang kokoh, sebab Tuhan mengokohkan kerajaannya. Tangan Tuhan menyertai Yosafat sehingga tidak ada raja-raja di sekitarnya yang berani berperang melawan Yahuda. Generasi gereja dan masyarakat adalah generasi yang “telah lahir baru” dan siap menghadapi tantangan zaman. Mereka tidak goyah secara identitas karena memilik landasan yang kuat pada firman Allah. AMIN. FN