MENJAWAB “YA” KEPADA KEHENDAK TUHAN- LUKAS 1:26-38
MENJAWAB “YA” KEPADA KEHENDAK TUHAN
LUKAS 1:26-38
Dalam pembekalan terhadap penatua, diaken dan pengajar, kami memulai diskusi dengan pertanyaan: Mengapa mau jadi seorang penatua, diaken dan pengajar? Rata-rata jawabannya adalah panggilan Tuhan. Bagaimana Tuhan memanggil Anda? Dengan cara bagaimana Tuhan memanggil Anda? Dari jawaban-jawaban yang kami dapat, lalu kami simpulkan bahwa Tuhan memanggil seseorang melalui jemaat yang telah memilihnya. Panggilan tersebut adalah panggilan iman. Iman seseorang kepada Tuhan mendorongnya menyerahkan diri untuk melayani Tuhan dalam jemaat maupun masyarakat. Tuhan memanggil kita dan kita menjawab “ya” terhadap panggilan Tuhan dan menyerahkan dirinya kepada Tuhan untuk dipakai sebagai alat. Kita tidak menjawab “ya” di tempat, tetapi menjawab untuk melakukan kehendak-Nya.
Tema renungan di minggu keempat Advent adalah menjawab “ya” terhadap kehendak Tuhan. Kita akan belajar dari cerita Maria.
Dalam bulan keenam Malaikat Gabriel disuruh Allah pergi di sebuah kota di Galilea bernama Nazareth, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang yang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu adalah Maria (ay. 26-27).
Dalam bulan keenam yang dimaksud adalah enam bulan setelah Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Zakharia di Yerusalem. Malaikat itu pergi ke Nazareth, Galilea. Orang-orang Yudea memandang rendah orang Yahudi di daerah Galilea dan mengklaim bahwa mereka bukanlah orang baik karena pergaulan mereka dengan orang-orang di luar Yahudi. Galilea adalah sebuah daerah yang diremehkan orang (Yoh. 7:52; 1: 46). Peristiwa Natal terjadi di kota yang diremehkan tersebut. Namun menjadi terkenal karena peristiwa natal. Bukan kota yang mengharumkan penduduknya tapi orang yang tinggal di dalam kota yang mengharumkan kota. Bukan Nazareth atau Bethlehem yang membesarkan Yesus namun Yesuslah yang membuat Bethlehem dan Nazareth terkenal hingga saat ini. Malaikat itu menemui Maria, seorang anak gadis.
Maria seorang perempuan saleh, hidup berkenan kepada Allah, yang tinggal di kota itu. Dalam bacaan ini tidak ada indikasi bahwa karena kesalehan Maria membuat Malaikat menampakkan diri kepadanya, tetapi karena Tuhan yang mau memakai Maria. Pada waktu itu Maria sedang bertunangan dengan Yusuf. Kata bertunangan ditulis dengan emneesteumeneen dari akar kata mneesteuoo artinya Maria diminta untuk menikah dengan Yusuf.
Sebagaimana hal yang terjadi di banyak kebudayaan baik di masa lalu maupun masa kini, para orang tua Ibrani mengatur pernikahan anak laki dan perempuan mereka. Orang Yahudi di Palestina abad pertama memandang pernikahan sebagai penyatuan dua keluarga.
Berdasarkan hukum Yahudi, ini bisa berlangsung dalam beberapa waktu setelah melewati usia yang diperkenankan, yaitu umur 12 bagi anak perempuan dan umur 13 bagi anak laki-laki. Meskipun anak belum mendapat restu dari orang tua namun hasrat pribadi mereka untuk menikah sudah diperhitungkan. Begitu ada restu orang tua untuk melanjutkan ke perjodohan, maka orang tua dari kedua belah pihak akan membicarakan secara detail urusan dan mempersiapkan sebuah kontrak yang sah yang akan dibacakan pada upacara peminangan. Sumpah janji akan dibuat, kepingan mata uang saling dipertukarkan dan kedua keluarga akan sama-sama merayakan Peristiwa itu. Pada bagian akhir dari acara peminangan ini, si anak laki-laki dan anak perempuan akan memasuki masa pertunangan (Maria dan Yusuf Sampai tahap ini) yang bisa kurang dari satu tahun, tetapi umumnya bisa berlangsung satu tahun.
Selama masa ini mereka akan menjadi suami istri dalam segala aspek namun mereka akan tinggal bersama keluarga masing-masing dan tidak melakukan hubungan seksual selayaknya suami dan istri. Ada beberapa tujuan mengapa dibuat jarak demikian? Pertama, masa ini diberi kesempatan kepada mempelai laki-laki menyiapkan rumah baru bagi mereka, yang biasanya merupakan rumah tambahan di rumah orang tuanya. Kedua, masa ini memberikan kesempatan kepada keluarga untuk melakukan beberapa ritual penyucian untuk menunjukkan bahwa secara seksual ia masih perawan. Ketiga, tidak seperti kebudayaan lainnya, orang Yahudi tidak menginginkan anak gadisnya meninggalkan pada suatu pagi dan tidur di tempat orang lain pada malam harinya. Masa pertunangan ini memberikan kesempatan kedua mempelai untuk diawasi ketat oleh orang tua sebelum mereka hidup bersama. Pada masa ini seorang perempuan tidak boleh melakukan sex dengan laki-laki lain karena jika hal itu terjadi dihukum mati, dilempar dengan batu (Ul. 22:23-27). Ketika masa satu tahun selesai maka laki-laki akan datang ke rumah perempuan pada tengah malam (cerita 10 gadis) dengan rombongannya untuk pesta kawin. Di sinilah proses berumah tangga. Dalam pesta ini, kedua mempelai akan dibawa ke rumah baru dan di sana akan melaksanakan pesta selama tujuh hari tujuh malam.
Ketika Malaikat masuk dalam rumah itu ia mengucapkan salam (ay. 28). Maria terkejut mendengar berita dari Malaikat. Setelah ia mendapat penjelasan dari Malaikat, ia bertanya, “bagaimana hal itu terjadi sebab ia belum bersuami?” Malaikat menceritakan apa yang dialami oleh Elisabet, sang sepupu yang telah tua namun mengandung. Bagi Allah tidak ada yang mustahil.
Lalu maria berkata, “sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu ini”. Hal paling menonjol dalam cerita ini adalah ketaatan Maria. Ketika Malaikat itu berbicara kepadanya, ia menempatkan dirinya sebagai seorang hamba dengan berkata, “jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (ay. 38). Jawabannya yang singkat sepertinya menegaskan bahwa ia tidak mempertimbangkan resiko yang akan dia terima yakni resiko sosial dan aturan agamanya yang berlaku dan akan mencelakakannya.
Mengapa Maria menerima tugas ini, padahal penuh dengan resiko? Pertama ia percaya bahwa ia memperoleh kasih karunia di hadapan Allah (ay. 30). Berbeda dengan Zakharia, seorang imam, tidak percaya akan ucapan Malaikat. Sebuah kepercayaan yang melampaui akal. Iman itu melampaui akal bukan berarti tidak masuk akal.
Kedua, Maria sadar bahwa ia hanya seorang hamba Tuhan yang tidak berhak menolak kehendak Tuhannya (ay. 38).
Ketiga, ia adalah seorang gadis yang suka merenungkan dan menyimpan segala sesuatu dalam hatinya (ay. 46).
Keempat, ada harapan masa depan untuk bangsanya bahkan seluruh dunia dari anak yang dikandungnya. Maria seorang perempuan muda yang menyerahkan dirinya dan mengandung, untuk juruselamat dunia. Seorang perempuan mengandung dan melahirkan kehidupan. Maria mengetahui itu melalui penjelasan Malaikat tentang nama anak itu, bahwa anak tersebut diberi nama Yesus (ay. 31). Yesus adalah kata Yunani yang sama dengan kata Ibrani “Yesua” dan kata kerjanya adalah menyelamatkan atau “yasa” . Anak itu akan menjadi penyelamat umat manusia bahkan Israel sendiri. Kelima, keyakinan Maria bahwa dengan peristiwa yang melampaui akal ini, Allah akan mengangkat kedudukannya. Perempuan pada waktu itu (sampai hari ini) orang kelas dua dalam masyarakat, pendosa, namun lewat peristiwa Ilahi ini Allah mau menunjukkan bahwa perempuan bukan orang kelas dua. Lewat peristiwa Ilahi Allah memulihkan kaum perempuan dari pandangan masyarakat yang salah terhadap seorang perempuan. Hal ini terlihat dalam nyanyian Maria (ay. 46-56).
Renungan :
Pertama, di minggu Advent keempat kita belajar bahwa hanya karena kasih karunia Allah sehingga Ia menyatakan kehendaknya kepada manusia. Karena itu, mari kita menjawab “ya” terhadap panggilan Tuhan. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa gereja adalah kumpulan orang-orang yang menjawab “ya” terhadap panggilan Tuhan. Jawaban “ya” kata aktif sehingga bukan di tempat, namun bangun untuk melakukan kehendak-Nya. Salah satu kehendak-Nya adalah mempersiapkan hati kita untuk sama-sama merayakan Natal bersama-sama umat-Nya di tempat persekutuan masing-masing (gereja, rumah, gugus/rayon, dll.). Ketika lonceng gereja berbunyi adalah panggilan Tuhan, ketika ada dan saya beranjak ke sana untuk berkumpul dengan mereka beribadah maka Anda dan saya menjawab “ya” terhadap panggilan Tuhan. Namun lonceng gereja berbunyi Anda dengan saya tetap di tempat tidur, ambil parang dan tembilang ke kebun, maka Anda menjawab “tidak” terhadap panggilan tuhan. Dst….
Kedua, ketika kita menjawab “ya” terhadap kehendak Tuhan merupakan respons kita untuk kasih karunia yang Tuhan anugerahkan kepada kita secara gratis. Jawaban “ya” merupakan syukur kita kepada Tuhan, karena Ia mau memilih kita menjadi alat-Nya. Karena itu mari kita berkata seperti Maria: “jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Kita hanya seorang hamba yang hanya melakukan kehendak tuannya. Pengakuan kita sebagai hamba adalah penundukan kita secara mutlak kepada kehendak-Nya.
Ketiga, setiap tahun Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk merayakan Advent dan merayakan Natal. Itu merupakan tanda bahwa akan ada terus harapan pemulihan, dan masa depan bagi orang percaya, gereja dan bangsa kita. Kita kutip perkataan Natanael ketika melihat Yesus: “mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh. 1:46). Ya. Advent yang menunjuk kepada Natal, berarti kita menyiapkan diri untuk menyambut masa depan. Masa depan yang baik akan datang kepada hidup kita, rumah tangga kita, keluarga kita, gereja kita, daerah kita, bangsa dan negara kita. Ia datang untuk memulihkan dan memperbaiki. Mari kita menjawab “ya” sambil mempersiapkan diri menyambut kehadiran-Nya. Amin. FN.
Saya pendeta Frans Nahak dan istri Pdt. Delyana N-Leo, menyampaikan selamat menyongsong Natal 2023.
Salam dari Klasis Amanuban Timur.