PANGGUNG POLITIK JADI PANGGUNG SELEBRITI

PANGGUNG POLITIK JADI PANGGUNG SELEBRITI

Pdt. fransiskus  seran Nahak.S.Th

Budaya kita sekarang disebut budaya selibritisme. Siapapun yang mau dikenal, menjadi terkenal dan berpengaruh harus menjadi selebriti bahkan meniru gaya selebriti. Orang yang disebut selebriti ialah mereka yang berpenampilan menonjol dalam dunia hiburan, yaitu para artis, penyanyi, penari, bintang sinetron dan para olaragawan/i yang memiliki prestasi yang bagus di tingkat nasional maupun internasional. Banyak orang yang ingin menjadi selebriti. Kita menyaksikan di telivisi, banyak yang melamar di acara-acara seperti Popstars, Indonesia Idol, Akademi Fantasi, dan lain sebagainya. Itu acara-acara yang resmi. Namun ada orang yang ingin terkenal, yang juga ingin menjadi selebriti, memanfaatkan jejaring sosial untuk mempromosikan diri agar terkenal. Ada banyak contoh yang tidak perlu disebutkan. Jadi zaman sekarang, siapa yang mau dikenal, terkenal dan berpengaruh harus menjadi selebriti. Seorang selebriti hidup di sebuah dunia yang disebut budaya popular. Sunyi adalah sesuatu yang mesti dihindari. Untuk itu ia harus pandai menciptakan sensasi. Tentu tidak semua selebriti seperti itu. Namun, yang tidak begitu sedikit sekali jumlahnya.

POLITIKUS MENJADI SELEBRITI
Kita memperhatikan kampanye pemilu yang dilakukan oleh partai-partai politik, mereka mengikut sertakan para selebriti, entah sebagai caleg atau sekedar disewa untuk memeriahkan panggung kampanye. Para juru kampanye, caleg, calon presiden atau wakil presiden belajar acting, bahkan tidak enggan meniru sang selebriti, supaya bisa tampil menarik dan mengalihkan perhatian massa. Bahkan mereka sendiri harus menjadi selebriti-selebriti di panggung politik untuk menarik perhatian massa.
Di sebuah negara yang mengaku demokratis seperti  Indonesia, sang selebriti mendapat tempat yang terhormat. Kita tahu bahwa salah satu kelemahan demokrasi memang menempati orang populer sebagai yang pintar. Tentu saja kelemahan ini hanya tampak pada negara demokrasi macam kita, yakni demokrasi yang digerakkan oleh materi dan media. Ini bersambut dengan fondasi tradisi kita yang oral, kelisanan. Dalam masyarakat lisan, popularitas tokoh jauh lebih penting daripada pokok. Politik dalam demokrasi demikian adalah politik tokoh, bukan politik pokok. Oleh sebab itu, sang selebriti pun mendapat tempat yang istimewa. Allan Goldstein (Kompas, 18/10/2013) menyebut politik demikian sebagai politik pertunjukan. Politik pertunjukan, kata Goldstein, bukan tentang bagaimana sesuatu dikerjakan, melainkan bagaimana sebuah peryataan dirangkai. Dalam politik jenis ini, kebisingan adalah keniscayaan. Ia hanya memproduksi keriuhan. Ia juga bekerja layaknya mode. Semacam mode yang datang dan pergi dalam tempo yang cepat, barang kali juga hanya sebuah keisengan. Padahal, politik bukan pekerjaan yang dapat mengubah dunia dengan cepat. Ia bergerak pelan karena itu butuh kesabaran. Ini adalah politik yang berdaya, bergerak dengan tenaga. Goldstein menyebut sebagai the politics of go. Namun, kata Goldstein, politik demikian kini tidak menarik lagi

POLITIK PANGGUNG SELEBRITI
Seperti yang ditengarai oleh Goldstein, dunia politik di negeri ini adalah dunia pertunjukan. Perhatikan sebagian besar politisi kita di DPR. Sejak awal, mereka bahkan menciptakan dirinya sebagai manusia panggung. Kita melihat poster-poster yang terpampan di berbagai sudut jalan, ada yang digantung di atas pohon, yang sudah pasti itu bukan diri mereka, melainkan sebuah imaji yang telah diseleksi fotografernya. Kemudian kita perhatikan kampanye terbuka yang dilakukan oleh partai-partai politik. Tokoh-tokoh politik yang tampil, baik juru kampanye, caleg, capres atau cawapres, bagaimana mereka tampil di panggung dalam keragaman pose: mulai dari berpose memakai  jas, dasi atau kostum buruh, pakaian adat hingga berfoto bersama dengan orang-orang tertentu, desain penampilan mereka seperti selebriti yang mau mementas. Kebiasaan ini akan terbawa setelah terpilih jadi anggota legeslatif, kebiasaan pentas terus berlanjut, barang siapa yang vocal, dialah yang eksis. Namun, kita seolah-olah melihat para vokalis itulah yang cerdas dan aktif bekerja untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Padahal itu hanya sebuah pertunjukan atau sensasi. Politisi dalam politik pertunjukan adalah mereka yang “bersolek dari rambut hingga ujung jari kaki”. Apa pun latar belakang disiplin ilmu dan profesinya, pada akhirnya mereka berubah menjadi selebriti. Lembaga perwakilan yang terhormat menjadi panggung pertunjukan para selebriti. Di panggung politik pekerjaan politisi memproduksi tanda yang membelokan realitas: yang hadir di permukaan bukanlah nyata, melainkan yang palsu. Subyek politikus, dengan demikian, adalah subyek yang semu, dusta. Itulah dunia panggung. Dunia selebriti. Para selebriti tidak selamanya dipuja, dikagumi dan diimpikan karena muncul muka baru yang lama akan dilupakan. Hubungan selebriti dan pemujanya sangat emosiaonal, tetapi sebenarnya tidak pernah mendalam.
Cara awal untuk mereka terpilih ialah melalui kampanye terbuka. Seperti selebriti di atas panggung, yang juga menghadirkan tenaga-tenaga non-partisan untuk menjalankan fungsi marketing tidak dapat dihindarkan dalam usaha mempengaruhi masyarakat pemilih. Pendekatan kampanye semacam ini lebih efektif karena pendekatan emosi dan etika dalam usaha persuasi. Kurang efektif jika kampanye hanya menggunakan pendekatan logika. Kultur masyarakat kita lebih menyukai iklan dengan nuansa emosional yang dapat membangkitkan emosi tertentu. Pendekatan emosi dan etika sangat jelas, hal itu kita amati dalam kampanye-kampanye. Panggung kampaye politik yang sebenarnya tempat untuk penyampaian visi dan misi dari partai politik lebih didominasi oleh unsur hiburan. Kampanye lebih banyak menyampaikan hiburan-hiburan berupa nyanyian, musik dan lain sebagainya, dari orang yang mencalonkan diri.
Saya kuatir, setelah terpilih mereka akan membuka kembali panggung hiburan di lembaga yang terhormat. Mereka mulai berekting, mencari popularitas, mengumpulkan kembali uang yang selama ini dipakai untuk pentas di luar (Korupsi), saling menyidir, bersaing kumpul kekayaan. Kita masyarakat yang memilih jadi penonton karena pementasan para selebariti yang kita pilih sendiri, yang duduk di kursi yang terhormat. Maka tidak lama kemudian kita mendengar bahwa ada yang frustrasi, stress depresi karena tertangkap korupsi, dan lain sebagainya. Kita hanya bisa menonton, dari luar dinding kaca jika terjadi keriuhan di dalam. Masyarakat segera maklum dan mengkerutkan dahi dan mengelus-elus dada. Itulah dunia pertunjukan sang selebriti di tempat yang terhormat. Tempat yang sebenarnya menurut Plato dan Aritoteles, tempat untuk mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan orang banyak, melayani masyarakat berubah menjadi tempat pertunjukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *