PERAN GEREJA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BANGSA

PERAN GEREJA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BANGSA

Oleh: Pdt. Emr. Sem. V. Nitti, M.Th.

 

PENGANTAR

Saya menyambut dengan gembira permintaan Kepala Bidang Bimas Kristen pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTT untuk menyampaikan pendapat dan pikiran saya tentang Peran Gereja di Tengah Kemajemukan Bangsa (Indonesia). Kegembiraan ini ada karena dua alasan pokok. Pertama, keutuhan bangsa dan Negara yang kita NKRI yang didirikan berdasarkan prinsip bhineka tunggal ika (beraneka namun satu), rasanya sedang digugat oleh sejumlah anak bangsa dengan alasan dan cara tertentu. Kedua, saya gembira karena sebahagian besar peserta kegiatan ini berasal dari gereja-gereja yang sudah menyatu dalam Forum Konsultasi Pimpinan Gereja-Gereja Kristen di NTT demi merawat kemajemukan gereja.

Saya tidak menulis ceramah, melainkan bercerita tentang realitas keanekaragaman yang kita semua kenal dan alami dalam kehidupan kita, yaitu cerita dari dunia binatang dengan alam, dunia tumbuh-tumbuhan dengan alam, cerita dari Notulen Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan akhirnya cerita dari dunia bahasa manusia, sebagai salah satu unsur budaya. Saya menulis sebagai cerita terbuka demi membuka ruang diskusi tentang peran gereja dalam kemajemukan bangsa. Saya sadar bahwa saya adalah orang Timor Amarassi 100%, Kristen Protestan 100% dan Indonesia 100%, yang menulis kepada para peserta yang pasti sama dengan saya dalam hal Indonesia 100%, sementara dalam hal lainnya pasti kita berbeda.

Semoga pendekatan ini menantang untuk saling berbagi cerita demi mengembangkan peran sebagai gereja di tengah dan di dalam NKRI yang beragam namun satu.

CERITA-CERITA

Cerita pertama, sekelompok kerbau berkubang dalam kolam berlumpur, sesudah kenyang makan rumput di padang luas yang mereka anggap sebagai kebun mereka. Ada beberapa ekor burung berbagai jenis yang hinggap di atas punggung kerbau-kerbau untuk dan sedang memakan (mematuk) kutu kutu yang melekat pada badan kerbau sambil mengisap darah kerbau sebagai makanan mereka. Kadang-kadang kerbau merasa terganggu karena patukan burung-burung lalu mengebaskan ekornya untuk mengusir burung-burung. Burung-burung itu terbang sebentar lalu hinggap kembali pada badan kerbau. Burung-burung itu, sambil mendapat makanan dari tubuh kerbau, juga mengurangi jumlah kutu pada badan kerbau. Setelah puas bermain air dan lumpur kerbau-kerbau keluar dari kolam lalu melepas tahi mereka di padang, tempat mereka makan rumput. Ternyata tumpukan tahi kerbau menjadi kebun bagi beberapa jenis serangga dan ulat yang berkumpul memakan tahi kerbau. Sisa-sisa tahi kerbau mongering dan akhirnya menjadi pupuk sehingga rumput bisa bertumbuh. Kadang-kadang manusia mengumpulkan sisa-sisa tahi kerbau yang mongering dan menjadikannya pupuk pada tanaman sayur yang manusia tanam untuk konsumsi keluarga. Sisa-sisa sayuran yang tidak bisa dimakan oleh manusia diberikan kepada babi peliharaan manusia menjadi makanannya. Demikianlah tanah, rumput, kerbau, kutu, burung, air, lumpur, tahi kerbau, manusia, sayuran, babi (dan ayam) hidup berjejaring demi saling memberi makan tak henti-hentinya selama negeri itu ada sebagai rumah bersama mereka.

Sampai saat ini fakta ini masih bisa dilihat di berbagai pulau dan daerah di Indonesia, sebagai fakta alamiah, ciptaan Tuhan semesta, bukan fakta biikinan manusia, namun manusia dalam kerakusannya bisa merusak fakta ini dengan menghilangkan satu atau dua unsur dalam jejaring yang saling merawat dan menghidupi tersebut.

Cerita kedua, ada hutan besar. Hutan itu terdiri dari aneka jenis pohon-pohon: ada yang tinggi dan besar serta berdaun lebat, ada yang pendek saja dan bisa tumbuh subur karena terlindung di bawahan naungan pohon-pohon yang tinggi dan besar. Ada pohon rambat yang tidak bisa berdiri tegak, tetapi menjadikan batang dan dahan pohon yang tinggi dan besar sebagai sandaran tempat mereka melekat, merambat ke atas, berdaun, berbunga dan berbuah. Ada juga tumbuhan yang bertumbuh melekat pada pohon-pohon besar, berdaun, berbunga indah sebab ia makan dari batang pohon tempat ia bertumbuh.

Banyak jenis burung yang hidup, mencari dan memperoleh makanan dari pohon-pohon dan tanah dalam hutan itu, bergembira-ria, beranak pinak dan menjadi banyak di dalam hutan itu. Ada burung yang membantu perkembangan pohon tertentu ketika burung-burung memakan buah pohon dan menjatuhkan biji di tempat lain, lalu biji bertumbuh menjadi pohon. Dengan demikian burung pemakan buah pohon itu menjadi “kaki” bagi biji atau buah pohon yang memungkinkan pohon itu bisa bertumbuh menyebar di tempat lain.

Tanah tempat tumbuh pohon-pohon itu selalu sejuk ditimbuni daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon bercampur dengan cirit burung-burung. Di dalam tanah yang lembap itulah hidup rupa-rupa makluk hidup kecil termasuk cacing. Makluk-makluk hidupp kecil itu makan dari hancuran daun dan cirit burung di atas tanah dan di dalam tanah. Dengan ini terciptalah suatu jejaring kehidupan antara makluk hidup dan tumbuh-tumbuhan, suatu jejaring yang saling merawat dan saling menghidupi. Inilah gambaran tentang hutan asli yang tidak diciptakan oleh manusia, yang sampai saat ini bisa ditemukan di berbagai pulau dan daerah di Indonesia.

Cerita ketiga, Cerita yang saya baca dari potongan Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan (kemudian: Panitia) ini bersidang secara terus-menerus menjelang akhir Perang Dunia 2, terutama setelah makin jelas bahwa Jepang yang sedang menguasai Indonesia sedang menuju pada kekalahan perang. Saya hanya mengutip tiga hal saja, berkaitan dengan topik kita, yaitu tentang kemajemukan bangsa. Satu, anggota-anggota Badan (kemudian: panitia) tersebut terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai pulau dan suku serta berbagai agama di Indonesia, sehingga Badan (kemudian) Panitia itu mencerminkan keanekaragaman suku, bahasa dan agama di Indonesia. Dalam keanekaragaman itulah diskusi mengenai bentuk Negara yang hendak dibentuk tidak boleh mencerminkan hanya suku dan agama tertentu tetapi suatu Negara Kesatuan yang mengakui dan mengayomi semua suku dan bangsa, bahasa dan agama sebagai bagian dari NKRI dengan prinsip duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Dari fakta keanekaragaman dan tekad bersama untuk menjadi Negara Kesatuan itu lalu lahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika (yang beraneka itu adalah yang satu itu juga) .

Dua, ada diskusi yang serius mengenai dasar Negara. Sesudah diskusi yang panjang oleh pidato Soekarno maka Pancasila ditetapkan menjadi Dasar Negara. Ada yang mengusulkan sila pertama berbunyi: Ketuhanan yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Terjadi diskusi yang panjang dan keras karena anggota yang tidak beragama Islam berkeberatan atas tambahan tujuh kata di belakang kata-kata Ketuhanan yang Maha Esa, karena tambahan itu bisa mencerminkan anggapan seakan-akan hanya satu agama saja yang diakui atau setidak-tidaknya diistimewakan dalam Negara kesatuan yang hendak didirikan. Dalam hal ini yang tidak beragama Islam berkeberatan. Akhirnya disetujui bahwa ketujuh kata itu dihapuskan. (Catatan: Kalau saya tidak salah sebagai kompensasi dari penghapusan itu adalah adanya Kementerian Agama untuk mengurusi secara khusus urusan-urusan agama dan warga NKRI beragama Islam). Penghapusan itu mencerminkan tekad untuk hidup bersama dalam saling mengakui dan menghormati sebagai sesama anak bangsa dalam NKRI. Tekad dan komitmen bersama itu tidak memberi ruang untuk adanya istilah mayoritas – minoritas, suatu istilah yang bisa membangkitkan semangat diskriminasi dalam NKRI.

Tiga, berkaitan dengan Pembukaan UUD 1945. Pada konsep awal di salah satu alinea terdapat rumusan “atas berkat rahmat Allah maka perjuangan Indonesia telah ..…..” Di sini anggota Badan (kemudian: Panitia) yang berasal dari Bali, suku Bali dan beragama Hindu mengajukan keberatan, katanya: “Kami di Bali yang beragama Hindu tidak mengenal istilah Allah. Kami hanya mengenal istilah Tuhan, untuk menyebut sembahan kami. Dan kami tahu bahwa saudara-saudara yang tidak beragama Hindu pun mengenal dan biasa memaka1 istilah Tuhan selain istilah Allah. Sebab itu kami meminta supaya istilah Allah dalam Pembukaan UUD 1945 diganti dengan istilah Tuhan. Jika tetap memakai istilah Allah dalam alinea itu maka kami yang beragama Hindu (seakan-akan) tidak termasuk dalam NKRI. Sesudah diskusi pada akhirnya istilah Allah diganti dengan istilah Tuhan sehingga rumusannya menjadi Atas berkat rahmat Tuhan maka ……………….”

Cerita keempat, dari Kitab Suci Alkitab tentang bahasa. Di Kejadian 11:1-9 kita baca tentang bahwa seluruh umat manusia hanya memiliki satu bahasa dan satu logat (ayat 1). Fakta itu tidak salah. Tetapi yang salah adalah bahwa satu bahasa itu mendorong manusia untuk menyatu dan membangun simbol untuk mencari kebesaran (mencari nama) bagi diri mereka sendiri.Pembangunan yang hebat itu adalah inisiatif manusia semata-mata berdasarkan cita-cita dan hasrat manusia semata dan bukan pelaksanaan atas pesan Tuhan Allah. Terhadap politik mercu-suar itu Allah turun untuk mengadili lalu menggagalkan serta membatalkannya karena Allah mempunyai “rencana politiknya” sendiri terhadap manusia. Allah memberikan banyak bahasa kepada manusia yang sedang membangun itu sehingga mereka tidak saling mengerti dan menjadi kacau sehingga bangunan mercu suar mereka gagal total. Perbedaan bahasa dan kekacauan yang timbul karena beda bahasa membuat manusia berserak-serak ke seluruh bumi. Nampaknya perserakan manusia karena perbedaan bahasa, sekali pun dialami sebagai hukuman Allah, namun dengan itu manusia melaksanakan perintah Allah agar manusia memenuhi bumi (lihat Kejadian 1:28).

Ternyata cerita tentang Allah yang memberi banyak bahasa bagi manusia agar mereka tidak bisa menjadi satu kekuatan yang dapat melawan Allah tidak berakhir negatif. Masih ada cerita lanjutan tentang bahasa dalam Kisah Para Rasul 2:1-13. Dalam kisah baru ini para murid Yesus yang sehari-hari hanya bisa berbicara dalam satu bahasa, bahasa Aram, dan sedikit bahasa Yunani yang dipakai di pasar-pasar di Galilea, tiba-tiba bisa memberitakan Injil Kerajaan Allah dalam berbagai bahasa, sehingga orang-orang Yahudi dan orang bukan Yahudi yang percaya kepada Allah Abraham, Isak dan Yakub, yang sedang berkumpul di Yerusalem untuk merayakan hari raya Pentakosta Yahudi bisa mendengar berita Injil Kerajaan Allah dalam bahasa mereka masing-masing (2:7-11). Dalam kisah ini perbedaan bahasa tidak menjadi hambatan untuk pemberitaan Injil Kerajaan Allah karena Allah memberi kemampuan kepada para murid Yesus untuk berbicara dalam berbagai bahasa sehingga setiap orang mendengar pemberitan Injil Kerajaan Allah dalam bahasanya sendiri (ayat 11).

Allah yang berkuasa memberikan banyak bahasa menghendaki juga agar Injil Kerajaan-Nya diberitakan dan didengar oleh manusia dari siap suku, bangsa dan Negara dalam bahasa mereka sendiri. Banyaknya bahasa yang pada mulanya menjadi alasan kekacauan kini telah menjadi sarana efektif yang dengannya manusia belajar mendengarkan keselamatan dari Allah.

MAKNA CERITA-CERITA BAGI GEREJA-GEREJA

Pertama, Tuhan Allah menciptakan aneka ragam ciptaan, terdiri dari keanekaragaman hayati dan non-hayati, untuk memenuhi bumi. Ciptaan yang beraneka-ragam itu Allah ikat-satukan di setiap tempat dalam satu jejaring kehidupan yang beraneka yang hidup bersama demi saling melindungi, saling merawat, saling memberi makan dan saling menghidupi. Dalam jejaring itu tidak ada ruang untuk memang-menangan atau saling mengalahkan, sebab tiap-tiap unsur dalam jejaring kebersamaan itu mempunyai nilai dalam dirinya dan nilai daya guna bagi yang lainnya. Kita mengandaikan saja bahwa cerita pertama dan cerita kedua adalah cerita tentang dan cerita yang mencerminkan kehidupan di dalam taman Eden (Kejadian 2:8-20).

Kedua, ketika para perintis kemerdekaan Indonesia mulai merumuskan model Negara merdeka yang hendak dideklarasikan (=diproklamasikan) di bumi Indonesia yang beraneragam suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama, mereka sepakat membangun komitmen bahwa Negara itu haruskan bersifat Negara kesatuan yang menyediakan ruang hidup dan gerak bagi semua orang Indonesia yang berbeda-beda, sebagai sesama saudara.

Ketiga, Dengan komitmen bersama untuk membangun Negara kesatuan di wilayah Nusantara maka seluruh manusia Indonesia hidup bersama dan berjejaring sebagai satu kesatuan dan sekaligus menjalinkan dirinya dengan seluruh jejaring aneka ciptaan hayati dan non-hayati yang ada di Nusantara. Di sini kemajemukan Indonesia tidak bisa dimengerti hanya sebagai kemajemukan manusia saja (dalam hal suku, budaya, bahasa dan agama), melainkan mencakup juga kemajemukan ciptaan hayati dan non-hayati lain selain manusia. Dengan demikian wilayah Indonesia tidak boleh hanya dipahami sebagai rumah bersama bagi semua manusia Indonesia, melainkan adalah juga rumah bersama manusia dan seluruh ciptaan hayati dan non-hayati yang ada di Indonesia. Rumusan ini menegaskan fakta bahwa kekhasan Indonesia tidak hanya ditandai oleh kemajemukan manusia melainkan juga oleh keanekargaman hayati dan non-hayati lainnya. (untuk menyebut beberapa contoh, misalnya, anoa dan babi-rusa di Sulawesi, Cenderawasih di Papua, Cendana di Timor, kura-kura hijau di Bali, Komodo di Manggarai Barat, jenis-jenis kayu khas Kalimantan, aneka jenis ikan dan penghuni laut yang khas Indonesia dll).

Keempat, sekalipun kita memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan, namun adanya bahasa-bahasa daerah (=bahasa suku) tidak boleh dipandang sebagai alat dan tanda kekacauan (seperti dalam bagian pertama cerita keempat), melainkan hendaknya dipandang sebagai kepelbagaian hasil ciptaan Allah yang dapat dipakai untuk saling membagi kabar baik dan saling memperkaya bahasa dan kehidupan manusia. Dalam hal bahasa pun berlaku semboyan bahasa suku/daerah yang banyak itu adalah juga bagian dari bahasa Indonesia yang satu itu. Maka mamasukkan bahasa daerah/suku sebagai muatan lokal dalam kurikulum sekolah adalah bagian dari tanggungjawab merawat kemajemukan.

PERAN DAN TUGAS GEREJA ……………………

Pertama, Bila cerita pertama dan kedua yang saya catat sebagai cerita-cerita yang mencerminkan kehidupan di taman Eden sekaligus adalah cerita-cerita yang mencerminkan kehidupan di Indonesia maka sabda Tuhan Allah di Kejadian 2:15: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu,” adalah sabda Tuhan Allah bagi gereja-gereja di Indonesia juga. Maka adalah peran dan tugas gereja di NTT untuk menjadi pengusaha dan pemelihara taman Eden yang bernama Indonesia. Pengusaha dalam arti mengusahakan agar manusia Indonesia mendapat makan dan minum secukupnya di taman Eden yang bernama Indonesia. Pemelihara dalam arti menjaga dan menjamin bahwa tidak satu ciptaan pun, baik yang hayati mau pun yang non-hayati terhapus, hilang atau musnah dari taman Eden yang bernama Indonesia. Kalau begitu adalah tugas dan peran gereja-gereja juga untuk ikut mengembangkan ilmu-ilmu, alat-alat dan metode-metode kerja sebagai pengusaha yang mencari nafkah di taman Eden (baca: Indonesia) sambil sekaligus menjamin kelestarian alam dan ciptaan hayati dan non-hayati.

Kedua, Gereja-gereja bertugas dan berperan untuk membela setiap manusia Indonesia dan setiap ciptaan (hayati dan non-hayati) di Indonesia terhadap perlakuan tidak adil dan semena-mena yang bisa menyebabkan hilang atau musnahnya manusia di tempat tertentu dan musnahnya ciptaan (hayati dan non-hayati) di Indonesia.

Ketiga, pada masa kini gereja-gereja perlu bersuara keras melalui media-media sosial modern untuk menangkal menyebar dan menguatnya pengaruh suara-suara yang menolak mengakui kemajemukan Indonesia serta berjuang untuk menggantikan Indonesia yang majemuk agama, bahasa/budaya, suku, dengan suatu Indonesia lain yang satu dan seragam dalam hal agama, bahasa dan sistem bernegara .

Keempat, mendidik, melengkapi, mendorong serta memberanikan warga untuk berani hidup membaur dalam masyarakat majemuk dengan mengembangkan sikap toleransi yang menghargai perbedaan sebagai kekayaan berbangsa dan bermasyarakat.

Kelima, gereja-gereja membangun lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti pendidikan, rumah sakit dan lembaga pelatihan lainnya yang terbuka untuk manusia Indonesia dari agama dan suku yang berbeda-beda sebagai bentuk pembelaan terhadap kemajemukan.

Keenam, gereja-gereja bertugas dan berperan untuk menjaga kemajemukan budaya antara lain dengan memakai bahasa-bahasa daerah dalam ibadah (bernyanyi, berkhotbah, berdoa dll), penerjemahan alkitab dalam berbagai bahasa daerah. Demikianlah gereja menghayati ulang pengalaman Pentakosta sebagaimana dikisahkan di Kisah Para Rasul ps.2.

Penutup

Kini giliran para peserta acara ini untuk mengkritisi dan memperkaya bahan yang telah saya tulis sambil menulis tambah tugas dan peran gereja di point tujuh sampai sepuluh.

Terima kasih!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *