REFLEKSI TEOLOGIS TENTANG VIRUS CORONA

REFLEKSI TEOLOGIS TENTANG VIRUS CORONA

Gregory Wagenfuhr

Ini benar-benar momen yang unik bagi kita. Semua ungkapan klise telah dikatakan, dan setelah kita mendengar semuanya, kita perlu meluangkan waktu untuk merenungkan apa artinya semua ini? Lagipula, itulah yang dimaksud dengan teologi. Ini tentang cerita kita tentang siapa Tuhan itu, apa yang Tuhan lakukan di dunia kita, dan apa artinya itu bagi kita. Tetapi itu menimbulkan beberapa pertanyaan yang sulit. Di mana Tuhan dalam semua ini? Apakah kita menggolongkan COVID-19 sebagai bencana alam? Apa yang Tuhan rencanakan saat ini dan apa yang harus kita sebagai gereja harus katakan?

Sebagai umat gereja Reform, kita harus beralih ke Alkitab sebagai naluri pertama kita. Dan melalui Alkitab, kita akan menemukan bahwa masyarakat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sangat akrab dengan apa yang kita alami. Penyakit adalah faktor umum dalam kehidupan di dunia kuno zaman Alkitab, terutama di kota-kota besar. Dan perspektif Alkitab tentang hal ini bersifat mendua. Tuhan sering dipandang sebagai penyebab bencana dan sakit penyakit. Syukurlah kita belum mendengar teologi awam kalangan jemaat yang mengatakan “Tuhan telah melakukan ini karena dosa komunitas ini atau itu,” seperti yang terjadi di masa-masa lain ketika terjadi bencana alam. Tetapi pada saat yang sama, apakah kita hanya dapat menyampaikan kata-kata penghiburan?

Setelah meneliti teks-teks Alkitab yang berhubungan dengan kenyataan kematian dan penyakit, ada satu bagian menarik. Dalam Imamat 14, Tuhan bersabda bahwa Dia akan mengadakan penyakit sebagai bagian normal dari kehidupan, tetapi para imam tetap diharuskan untuk menanganinya. Sebagai Pencipta, Tuhan memegang kendali. Tuhan itu berdaulat. Tuhan tidak terkejut. Dan kita, sebagai makhluk ciptaan, tunduk pada banyak kekuatan di luar kendali kita. Penyakit adalah akibat dari dosa, tetapi tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan dosa pribadi atau dosa kolektif. Seringkali, penyakit hanyalah fakta dalam kehidupan sebagai ciptaan. Tetapi bagaimana pun, Tuhan memberi kita tugas pastoral. Apakah itu kepedulian terhadap orang sakit (dengan tetap menggunakan alat pelindung dan mengambil jarak yang aman), atau membantu mereka yang akan, atau yang sudah, hancur secara finansial. Panggilan kita adalah menjadi kehadiran umat Allah dengan harapan membawa damai sejahtera kepada segala seluruh ciptaan.

Tetapi Tuhan tidak hanya memerintah kita untuk melakukan ini, Tuhan berada di depan memimpin kita. Dalam Yesus Kristus, Tuhan datang kepada umat-Nya di tengah-tengah pencobaan mereka. Yesus menderita penyaliban dan kematian. Dia menangisi kematian Lazarus, sahabat-Nya. Dia menyembuhkan banyak orang dan memberi harapan. Yesus adalah Gembala Agung kita, Raja kita yang memimpin dengan memberi teladan. Orang-orang pada zamannya, seperti juga kita, memiliki setiap alasan untuk memiliki rasa takut tertular penyakit mereka. Namun, kita melayani Tuhan yang menemui kita dalam ketakutan itu dan berjalan bersama kita melewatinya.

Inilah waktu bagi gereja untuk mengungkapkan kerajaan Allah kepada dunia, untuk menjadi pelopor dalam pelayanan. Kita tidak takut seperti mereka yang tidak memiliki harapan. Dalam menghadapi kehancuran finansial, hal yang tidak dikenal, atau bahkan penyakit dan kematian, kita memiliki keyakinan bahwa Allah tidak hanya berada di atas takhta-Nya, tetapi juga berada di tengah-tengah kita, memberdayakan kita dengan Roh Kudus untuk menunjukkan kepada dunia yang ketakutan apa makna damai yang melampaui segala pengertian.

Rev. Dr. Gregory Wagenfuhr, ECO Theology Coordinator of United Presbyterian Church AS.
Terjemahan bebas Zakaria J. Ngelow, 23 Mei 2020 dari, Gregory Wagenfuhr, “Theologically Reflecting on Coronavirus,” in https://www.theology-eco.org/eco-theology-blog/2020/3/18/theologically-reflecting-on-coronavirus

Ilustrasi: “Sepuluh Orang Kusta” Lukas 17:11-19. (Zakaria J. Ngelow)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *