RENUNGAN MINGGU SENGSARA KE TUJUH – Yohanes 18: 28-40

 RENUNGAN MINGGU SENGSARA KE TUJUH

Yohanes 18: 28-40

Menurut teori kebenaran, sebuah kebenaran harus ada kesesuaian antara suatu pernyataan dengan fakta. Semboyannya adalah “truth is fidelity to objektive reality” (kebenaran setia/tunduk pada realita objektif). Kebenaran hukum merupakan suatu peristiwa yang telah selesai dan berasal dari pengalaman, artinya menuntut ada kejadian yang telah terjadi, bukan ide atau ancaman. Teori kebenaran itulah yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan berbagai kasus. Misalnya, tahun 2023 kasus korupsi yang menghebohkan masyarakat NTT, di mana seorang politisi kenamaan di daerah ini yang terjerat kasus korupsi. Dalam kesaksian di pengadilan ia menyebut beberapa lembaga keagamaan yang diberi uang haram tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sehingga dipidanakan 15 tahun penjara. Majelis hakim memiliki penilaian yang objektif dengan fakta-fakta dalam persidangan.

Namun, terkadang kita disajikan dengan keputusan pengadilan yang tidak adil karena tunduk pada tekanan massa dan rezim dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di pemerintahan, namun juga terjadi dalam masyarakat di akar rumput. Siapa yang menjadi kepala wilayah? Siapa yang menjadi tuan tanah? Siapa yang berjasa membangun gereja? Siapa yang menjadi pemimpin dalam gereja? Kebenaran akan mengikuti tafsiran mereka.

Beberapa hari ke depan mata kita akan tertuju ke persidangan sengketa hasil pemilu. Para penggugat melapor dan menyertakan berbagai barang bukti sehingga dapat membuktikan kebenaran.

Bacaan kita di minggu sengsara terakhir, Yesus diperhadapkan ke Pilatus, pemimpin wilayah pemerintahan pada waktu itu. Para pendakwa menuduh Yesus dengan berbagai tuduhan yang tidak mendasar. Pilatus sebagai kepala pemerintahan harus tunduk pada suara mayoritas untuk menjaga kedudukan dan stabilitas keamanan daerah yang dipimpinnya. Pilatus tidak mau mengecewakan sekelompok pimpinan agama walaupun ia tahu betul bahwa tuduhan tidak benar. Ia mencari aman. Apalagi peristiwa itu akan bertepatan dengan hari raya agama Yahudi. Ia menjaga relasinya dengan pemimpin agama Yahudi dan menjaga kariernya di mata Kaisar.

Peristiwa ini terjadi setelah Yesus disidangkan dalam pengadilan agama Yahudi yakni di hadapan Hamas, Mertua Kayafas, yang pada tahun itu menjabat sebagai imam besar (ay. 13). Di dalam sidang itulah mereka mencari berbagai alasan untuk mempersalahkan Yesus.

Yesus harus dibawa kepada Pilatus yang pada waktu adalah gubernur. Mengapa mereka tidak mengeksekusi Yesus sendiri sebab dalam hukum PL ada hukuman bagi para penghujat (Im. 24:16)?

Ada beberapa alasan, yaitu: pertama, Israel berada dalam kekuasaan Romawi, ada hukum Romawi yang melarang orang Yahudi melakukan eksekusi terhadap mereka sendiri. Penjahat mana pun yang layak dihukum harus dibawa ke gubernur Romawi dan diadili menurut hukum Romawi (bdk; Kis. 21:27-34). Walaupun ada kasus lain, misalnya Stefanus yang dirajam dengan batu. Orang Yahudi tidak segan-segan mengeksekusi mati orang yang menghujat keyakinan mereka dan lambang keagamaan mereka. Kelompok-kelompok ini sangat fanatik, atas nama agama dan keyakinan serta lambang keagamaan mereka melakukan kekerasan dan membunuh orang bahkan mereka berani mati untuk membelanya. Bukan nilai kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan melainkan fanatisme dan angan-angan surga untuk memuaskan hasrat mereka.

Kedua, mereka menginginkan agar ketika mengeksekusi Yesus, hal tidak bertentangan dengan undang-undang pemerintah Romawi pada waktu itu, sebab hukum Romawi bukan dirajam dengan batu namun disalibkan. Di sini kita melihat Allah bekerja melalui peristiwa ini, bahwa Yesus harus disalibkan untuk menanggung kutuk di salib. Ia tidak hanya berkorban untuk kelompok-kelompok tertentu tapi untuk seluruh umat manusia. Fakta bahwa tidak ada tulang yang patah dan darah yang harus tertumpah di kayu salib sesuai dengan pengorbanan domba Paskah dalam PL (Kel. 12:46).

Ketiga, Yesus memiliki pengikut yang cukup banyak, masyarakat akar rumput. Untuk menghindari konflik pada hari raya maka mereka meminta legitimasi pemerintah dan dukungan keamanan. Hal ini untuk menggenapi nas yang berkata Ia seperti seekor anak domba dengan tenang dibawa untuk dikorbankan tanpa perlawanan dan pemberontakan. Jalan keselamatan adalah jalan damai bukan jalan kekerasan dan kekacauan (baca Kis. 8:32).

Malam itu Pilatus telah memberi izin menangkap Yesus dengan menggerakkan para prajurit untuk menangkap Yesus. Hal ini karena desakan imam besar. Dengan adanya persetujuan Pilatus para imam menyangka bahwa ia segera menyetujui. Kemudian, pasti Pilatus tidak menghiraukan perkara ini lagi sebab semalam ia telah menyetujui dengan menggerakkan para prajurit untuk menangkap Yesus.

Namun Pilatus tidak seperti yang dibayangkan oleh para imam, ia memeriksa perkara ini terlebih dahulu. Ia menanyakan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Yesus (Yoh 8:29). Ada undang-undang Romawi yang berlaku bahwa seseorang tidak boleh dihukum, kalau tidak ada tuduhan yang sah atas dia. Pilatus menanyakan apa kesalahan Yesus. Orang-orang Yahudi mencoba menipu Pilatus. Ia mengetahui bahwa mereka hendak membunuh Yesus karena benci (Mar. 15:10). Kebencian menutup mata hati seseorang untuk melihat kebaikan dari orang ia benci. Di sini kita membutuhkan seorang pemimpin yang berani mengungkapkan kebenaran. Hal ini tidak ada dalam diri Pilatus. Namun ada dalam diri Yesus dalam pelayanan-Nya selama tiga setengah tahun bahkan sampai di depan Pilatus Ia masih bersaksi.

Pilatus menyerahkan kembali kepada mereka untuk menghukum Yesus. Namun orang-orang Yahudi menyampaikan tiga tuduhan (Luk. 23:2), yaitu: Pertama, Dia menyesatkan bangsa kami. Kedua, Dia melarang orang membayar pajak kepada Kaisar dan ketiga, Dia mengatakan bahwa Dia adalah Kristus, yaitu Raja.

Tuduhan-tuduhan ini bersifat politis. Sikap Pilatus pertama tidak mau menjatuhkan hukuman mati berdasarkan tuduhan-tuduhan tersebut apalagi pernah mengatakan bahwa Yesus Anak Allah. Hal ini adalah soal agama. Tetapi kalau melarang orang untuk tidak membayar pajak kepada Kaisar dan mengangkat diri-Nya menjadi raja tentulah Pilatus akan mendengarkan, itu bukan urusan agama lagi tapi urusan politik. Ketiga tuduhan itu tidak beralasan sama sekali. Yesus tidak pernah melarang orang untuk membayar pajak, melainkan Ia menyuruh para murid untuk membayar pajak. Jika Yesus mengangkat diri-Nya menjadi Raja maka Ia memiliki banyak pengikut dan terjadi revolusi pada waktu itu sebab itulah yang diharapkan oleh orang Yahudi kepada Mesias. Mereka tidak akan membawa Yesus sampai kepada Pilatus untuk dibunuh.

Pilatus mendengar tuduhan-tuduhan tersebut. Yesus berdiri di samping Pilatus dengan tenang, tidak seperti penjahat pada umumnya yang bereaksi. Bukan sengaja memberontak untuk menutupi kesalahan supaya seolah-olah dia benar. Maling teriak maling. Yesus tidak demikian, mengapa? Karena Ia tidak bersalah. Inilah jalan yang harus Ia lalui. Ia adalah hamba Tuhan yang menderita seperti yang dinubuatkan (baca: Yes. 52:15)

Pilatus heran dengan sikap Yesus. Karena tuduhan-tuduhan bernuansa politis juga, terpaksa Pilatus campur tangan walaupun terakhir ia mencuci tangan. Ayat 33 Pilitus bertanya tentang apakah Yesus Raja orang Yahudi. Ia tidak bertanya “apakah Engkau berkata, bahwa Engkau seorang Raja” melainkan “apakah engkau Raja?” Beberapa penafsir mengatakan bahwa dari pertanyaan Pilatus menunjukkan keseganannya kepada Yesus karena wibawa Yesus menghadapi tuduhan. Tidak ada aura kesalahan dari Yesus dan tidak ada bukti bahwa Yesus pernah mengatakan demikian. Pilatus hanya mau mendengar Yesus.

Bavinck mengatakan bahwa nada pertanyaan Pilatus adalah nada yang lembut. Bagi Yesus, pertanyaan Pilatus dari hati yang dalam mengenai Yesus. Nada percakapan itu terlihat dari ay. 33-37. Yesus menyadarkan Pilatus akan kebenaran yang sesungguhnya. Piltaus sebagai seorang pemimpin yang tahu tentang undang-undang formal tentang konsep kebenaran, namun kebenaran yang dikatakan Yesus adalah kebenaran sejati. Ia sebagai contoh Raja yang menegakkan kebenaran dan berkorban untuk sebuah kebenaran.

POKOK-POKOK RENUNGAN

Pertama, kebenaran tidak mengikuti keinginan dari kelompok mayoritas. kebenaran tidak sama dengan keinginan tuan tanah, pendiri gereja, pimpinan gereja, pimpinan wilayah tetapi kebenaran berlandaskan Firman Tuhan. Banyak dari para pelayan yang menjadi “korban” di jemaat karena menegakkan kebenaran. Mereka harus berhadapan dengan tuan tanah, pendiri gereja yang tidak menghendaki kenyamanan mereka terganggu oleh kehadiran seorang pelayan. Namun tak jarang juga kita temui para pelayan (pemimpin) mengorbankan warganya demi kenyamanannya. Kebenaran menurut Firman Tuhan adalah kebenaran yang berani berkorban, bukan mengorbankan orang lain untuk membenarkan diri.

Kedua, kebenaran tidak hanya dalam peraturan formal, hukum formal, melainkan berpihak dan membela mereka yang teraniaya. Yesus mengalami ketidakadilan dan yang dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang menyuarakan kebenaran tanpa tunduk pada suara mayoritas yang bertolak belakang dari Firman Tuhan atau kuasa rezim.

Ketiga, berani berkorban demi kebenaran dan keadilan. Hal ini tunjukkan oleh Yesus, Ia tak gentar menghadapi Pilatus, tak mencari pembenaran sebab Ia benar. Berbeda dengan Pilatus yang tak berani menegakkan kebenaran. Sikap Yesus adalah spirit orang Kristen dan gereja dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Jadilah murid Kristus yang tidak mencari kenyamanan diri sendiri.

Keempat, menghadapi persoalan dengan ketenangan seperti Yesus, karena di situlah terletak kekuatanmu. Amin. FN.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *