BUDAYA RASA MALU
BUDAYA RASA MALU
Pdt. Frans Nahak
Ada satu keluarga yang tak pernah datang gereja ambil bagian dalam persekutuan. Saya bertemu dengan mereka, dan selalu saja alasan merasa malu datang bergabung dalam persekutuan di gereja. Saya mencoba mencari tahu, singkat cerita, sebenarnya mereka tidak bersalah. Yang salah orang lain. Kemudian saya mengambil kesimpulan bahwa fokus Pastoral kepada “budaya rasa malu”. Ini pekerjaan berat.
Bila kita memperhatikan narasi Kejadian, kita cenderung membaca melalui sudut pandang dosa sebagai rasa bersalah. Kejadian 2:25 dengan jelas menyebutkan bahwa masalahnya ada rasa malu. Mereka berdua telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Pada awal pasal 3 ular disebut “cerdik”. Bahasa untuk kata cerdik ialah ARUM. Kata ini terdengar mirip dengan istilah untuk manusia dan istrinya itu, yaitu EIRUM, “telanjang”.
Sebuah permainan kata yang harus diterima dengan serius sebagai usaha yang cerdik tetapi jahat untuk membuat manusia sadar (ada cerdik untuk baik tapi ada cerdik untuk jahat) akan ketelanjangannya, dan dengan demikian mempermalukan mereka.
Ketika mereka tahu bahwa mereka telanjang (3:7), mereka menutup ketelanjangan mereka yang tampaknya sia-sia saja karena kemudian kita baca bahwa Allah memberi Adam dan istrinya pakaian dari kulit binatang (3:21). Secara tersirat mengatakan kepada kita bahwa binatang harus dikorbankan untuk menutupi rasa malu (berhubungan korban persembahan dalam PL).
Menyembunyikan diri merupakan reaksi wajar dari orang yang merasa malu. Tetapi ketika Allah menanyakan mereka, manusia laki-laki itu menjawab “Aku mendengar suara-Mu di taman, aku takut, karena aku telanjang, dan aku bersembunyi. Takut? Mengapa tidak malu? Apa yang membuat orang takut? Karena mereka bersalah telah melanggar perintah Allah atau mereka malu dengan keadaan mereka? Pertanyaan Allah kepada manusia itu: “siapa yang memberi tahu engkau bahwa engkau telanjang?” Jelas memperlihatkan bahwa perhatian Allah tidak terlalu tertuju pada kesalahan manusia melainkan kepada rasa malu mereka yang kini mengancam keselarasan ciptaan-Nya.
Bingung juga, rasa malu bisa membuat manusia takut?
Secara logis, tidak perlu takut kalau anda tidak melakukan kesalahan. Kecuali anda bersalah. Saya kemudian sadar bahwa rasa malu selalu dihubungkan dengan rasa bersalah.
Namun dalam cerita kejadian Adam takut karena menanggung konsekuensi rasa malu.
Jika kita mengikuti episode selanjutnya, misalnya pasal empat tema rasa malu terus berulang. Kain tidak hanya kecewa dan marah karena korbannya tidak diterima Allah, melainkan juga merasa malu. Ia kehilangan muka. Dalam bahasa Ibrani: WAYIPLU PANAU, “WAJAH JATUH”!. Dalam episode tersebut tidak berkaitan dengan rasa bersalah sama sekali. Tidak terdapat penjelasan sedikitpun mengapa korbannya tidak diterima.