SATU DALAM KATA DAN PERBUATAN
SATU DALAM KATA DAN PERBUATAN
Bacaan: 2 Kor. 6:1-10
Oleh : Paul Bolla
INI bacaan Minggu Sengsara ke- 2 dalam daftar bacaan tahun 2022 Gereja Masehi Injili di Timor.
Pilihan bacaan ini untuk menjelaskan tema “Setia Melayani di Tengah Kesukaran”. Bacaan ini akan memberi pencerahan perihal karakter “setia melayani di tengah kesukaran.”
Adakah pengikut Yesus yang tetap setia melayani meski ditengah kesukaran? Karakter setia melayani dalam kesukaran seperti apa? Sebab tren saat ini justru sebaliknya. Kita mudah mendapat bukti orang-orang yang tidak setia, justru ketika dia memiliki banyak kemudahan.
Dalam berbagai bidang profesi, termasuk para pengerja gereja, justru berperilaku curang ketika memiliki aneka kemudahan. Artinya dalam kemewahan dan bergelimang kemudahan saja, orang masih tidak setia. Bagaimana jika dia sedang di tengah kesukaran?
Ada obrolan ringan soal pendeta yang lebih setia melayani: pendeta masa kini atau pendeta, guru jumat atau guru injil zaman dulu? Umumnya mengakui pendeta, guru jumat atau guru injil zaman dulu lebih setia. Mereka tangguh dalam kondisi multi-kesukaran, gaji kecil hingga tak bergaji, jalan kaki berkilo-kilometer, pegang belasan mata jemaat, tidak membuat mereka tidak setia, lalu lari dari tanggung jawab atau meninggalkan tempat dia melayani.
Bagaimana dengan pendeta masa kini? Banyak juga kita temukan mereka yang tetap setia melayani sekalipun dalam banyak keterbatasan, dan kesukaran. Kualitas karakter model ini masih banyak kita temukan dalam diri pendeta-pendeta muda yang ditempatkan GMIT di wilayah pelayanan yang menurut kriteria pemerintah masuk kategori 3 T: terpencil, tertinggal dan terluar. Udik.
Itu artinya si pendeta muda pasti melayani di lokasi yang tidak ada akses transportasi rutin, atau harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa listrik, tanpa sinyal. Atau di konteks NTT, lokasi itu bisa berarti di gunung, di lembah atau di pulau-pulau. Setiap perjalanan pelayanan selalu berjumpa dan bercanda dengan maut. Kesukaran fisik itu adalah cerita biasa para pendeta GMIT. Sangat teruji.
Keterbatasan wilayah 3 T, justru membuat para hamba menjadi teruji, kuat dan tangguh. Keterbatasan, bukanlah kesukaran, tetapi tantangan yang membuat semakin setia pada panggilan melayani Tuhan Yesus.
Namun ada bahayanya jika membiarkan seorang pendeta terlalu lama melayani di wilayah 3 T. Mereka akan menyatu dengan tempat tugas, menimbun harta (tanah, hewan), dan akhirnya tidak bersedia dimutasi.
Bagaimana dengan para pendeta di kota-kota, baik kota kecamatan, kota kabupaten hingga ibukota provinsi? Tingkat kesukarannya sangat berbeda.
Kesukaran di desa adalah keterbatasan. Sedangkan kesukaran di kota, justru karena ketercukupan.
Keterbatasan bukan alasan bahwa mereka yang melayani di desa itu menderita. Sebaliknya jangan pula beranggapan bahwa mereka yang melayani di kota yang bermandikan fasilitas, pertanda mereka berbahagia.
Keterbatasan dan ketercukupan adalah alat untuk memurnikan kesetiaan pada pelayanan yang hanya berfokus pada Tuhan Yesus.
Dalam kondisi apapun, sang pelayan berpotensi tergoda bukan setia melayani Tuhan, tetapi setia kepada sesuatu yang lain, entah di kota, entah di di desa. Bentuk godaan berbeda menurut konteksnya, tetapi sama-sama berpotensi mengalihkan fokus, dari melayani Tuhan menjadi melayani diri sendiri atau mencari hormat. Nama Yesus sekedar dicatut dalam ucapan, padahal posisi Yesus sudah digeser ke rebis, atau bahkan dipindahkan ke belakang.
Kesukaran seperti apa yang bisa mengubah seseorang tidak setia melayani? Ada potret profil kesukaran yang lazim dikalangan GMIT, yakni melayani di jemaat air mata atau jemaat mata air. Air mata simbol kesukaran, miskin dan mata air simbol kemakmuran.
Hemat saya kesukaran ada dimana-mana. Kesukaran adalah keniscayaan sebagai ujian untuk naik level hingga mendapat predikat SETIA. Tanpa kesukaran, kualitas diri tetap, biasa-biasa saja. Hidup menjadi kurang bernilai.
Bagaimana cara agar bisa melayani tetap setia, kita temukan itu dalam perikop bacaan minggu sengsara II ini. Rasul Paulus menunjukkan bukti kualitas pelayan Allah sejati yang setia. Ciri-cirinya, antara lain, sabar dalam menghadapi segala hal, berupa penderitaan, kesesakan dan lainnya. Tidak menjadi batu sandungan, yang bisa menyebabkan pelayanannya dicela. Tidak munafik, memiliki kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran, dan kemurahan hati.
Paulus memaparkan contoh karakter menjadi seorang pelayan yang setia. Semua itu untuk memberi sebuah konfirmasi tentang apa yang sudah dan akan dia lakukan sebagai pelayan Allah.
Semua konfirmasi itu, ada kaitan dengan tantangan pelayanan Paulus di Jemaat Kota Korintus. Reputasi Paulus di masa lalu buruk sekali. Jabatan kemiliterannya dipakai untuk mengejar dan membunuh para pengikut Yesus, hingga ia mengalami pertobatan. Hidupnya berubah drastis
Setelah menjadi pengikut Yesus, hidup Paulus berubah total. Hidupnya didedikasikan hanya untuk melayani Tuhan. Paulus mendapat dukungan dari rekan-rekan sekerja dalam pelayanan di banyak lokasi, termasuk Jemaat di Korintus. Selain yang mendukung, ada juga kelompok lain yang mengingat masa lalunya, meragukannya dan menantang kewibawaannya sebagai seorang rasul. Perikop bacaan ini merupakan penjelasan Paulus kepada jemaat di Korintus tentang karakteristik pelayanan kerasulannya yang diragukan para penentangnya.
Paulus memberi banyak bukti. Inti semua bukti yang dipaparkan Paulus adalah integritas diri. Yakni, satu dalam kata dan perbuatan. Integritas diri itulah yang menjadi modal membangun solidaritas dan soliditas melayani Tuhan dalam kondisi apapun. Bukan lain dibibir, lain pula perilakunya.
Dalam menghayati minggu-minggu sengsara, melalui bacaan minggu ini, Paulus menunjukkan integritas diri sebagai pelayan Allah. Paulus memberi bukti jati dirinya yang baru, yang tahan uji atas banyaknya penderitaan, penghinaan, fitnah, hingga masuk penjara.
Tantangan pelayanan saat ini, adalah bagaimana membangun semangat solidaritas dan soliditas rekan sekerja untuk tetap berada dalam satu frekuensi melaksanakan amanat Yesus untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus, terutama saat sedang bersama mengalami aneka bencana bertubi-tubi. Lemahnya integritas diri, dan lemahnya komitmen pada panggilan merupakan kesukaran yang membuat seorang pelayan dalam profesi apapun menjadi tidak setia. Kesukaran yang akan menodai kesetiaan melayani Tuhan dalam semua profesi, tidak berasal dari luar diri, tetapi bersumber dari dalam diri sendiri. Integritas diri yang kuat, satu dalam kata dan perbuatan, membuat seseorang tahan uji untuk tetap setia melayani Tuhan. (*)
Salam Sehat dari Fatululi
Sumber : FB Paul Bolla